Image: greenoaksolutions.co.uk |
Kepala yang pening dan berdenyut-denyut, ternyata penyebabnya bukan dari kepala itu sendiri. Saat dirasa-rasakan rasa sakitnya, maka lama-kelamaan diketahui bahwa asal usul rasa pening dan berdenyut-denyut itu adalah dari asam lambung yang naik akibat banyak mengkonsumsi makanan berlemak. Setelah dimuntahkan seluruh isi perut, mulai dari gorengan, mi goreng dengan kerupuknya, serta lalapannya (kol, ketimun, dan sawi) maka lega mulai dirasakan.
Nah lo, ternyata ketika perut yang bermasalah, kepala pun turut merasakannya. Saat masalah di perut diselesaikan, maka kepala pun sudah tidak lagi pening dan berdenyut-denyut.
Nah lo....ternyata menjadi satu tubuh itu akhirnya menjadi satu rasa. Hal itu tentunya bukan hanya terjadi pada tubuh saja. Tetapi juga 'tubuh' yang lain, seperti pasangan hidup yang terikat dalam pernikahan, keluarga, kerabat, masyarakat, perusahaan, dan bangsa.
Ketika pasangan yang terikat dalam ikatan suci pernikahan telah menyatakan untuk menjadi satu tubuh, maka jika yang satu merasakan sakit maka yang lain pun akan merasakannya. Ketika seorang individu telah menjadi anggota sebuah keluarga, maka individu itu akan merasakan apa yang dirasakan oleh anggota keluarga lainnya. Ketika seorang karyawan telah masuk ke dalam sebuah perusahaan dan meneken kontrak perjanjian kerja maka itu artinya dia telah menjadi bagian dari tubuh perusahaan. Artinya, dia akan bisa merasakan apa yang dirasakan oleh perusahaan itu. Di sektor yang lebih luas lagi adalah ketika kita telah menyatakan menjadi anggota masyarakat di dalam lingkup bangsa Indonesia, maka carut marut yang menimpanegeri kita pun sehausnya bisa kita rasakan carut martnya dalam diri kita. Kalau ditinjau dari sisi agama, maka bukankah sesama muslim adalah saudara, satu merasa sakit maka lainnya akan merasakan. Satu merasa bahagia, maka lainnya akan turut merasakannya.
Yupps... begitulah, ketika kita sudah merasa menjadi bagian dari satu tubuh, maka kita akan bisa merasakan apa yang dirasakan bagian tubuh lainnya. Di sini saya akan mengaitkannya dengan work engagement. Mengapa? karena selama ini hubungan industrial antara pengusaha dan pekerja selalu saja ada gap, sehingga ada saja demo-demo yang berisi tuntutan ketidakpuasan pekerja terhadap pengusaha. Andai saja pengusaha memahami apa yang dirasakan pekerja maka pengusaha akan memberikan apa yang diharapkan oleh pekerja. Demikian pula sebaliknya, ketika pekerja memahami posisi pengusaha maka pekerja pun akan menyampaikan tuntutan dan harapannya tanpa harus melalui demo-demo.
Work engagement itu sendiri didefinisikan oleh para ahli sebagai berikut:
Work engagement didefinisikan sebagai ‘a positive, fulfilling, work-related state of mind that is characterized by vigour, dedication, and absorption” (Schaufeli dan Baker, dalam Gill, 2007:3 dan Schreuder dan Coetze, 2007:290, 295). Lebih lanjut disebutkan oleh Schreuder dan Coetzee bahwa engagement lebih mengacu pada sesuatu yang lebih persisten dan merupakan afeksi persuasif, serta merupakan pernyataan kognitif yang tidak terfokus pada obyek tertentu, peristiwa tertentu, perilaku, atau individu. Sementara itu, Richard et al (2009:229) mengutip pendapat Nelson dan Simmons, bahwa “work engagement is a set of work attitudes that lead employees to feel positive emotions toward their work to be personally meaningful, consider their work load to be manageable, and have hope about the future of their job”.
Sebagaimana telah disebutkan di muka bahwa Schaufeli dan Baker menyebutkan bahwa karakteristik work engagement adalah vigour, dedication, dan absorption dalam pekerjaan seseorang. Gill (2007:3) menjelaskan masing-masing karakteristik work engagement menurut Schaufeli et al tersebut sebagai berikut:
- Vigor, didefinisikan sebagai tingkatan yang tinggi atas energi, resilience, dan kebersediaan untuk memberikan upaya dalam pekerjaan seseorang dan menunjukkan persistensi ketika menghadapi kesulitan.
- Dedikasi, diindikasi oleh rasa adanya kepentingan, antusiasme, inspirasi, dan kebanggaan.
- Absorption, diindikasi oleh adanya keasyikan yang mendalam yang ditunjukkan oleh seseorang terhadap pekerjaannya, di mana ketika waktu berlalu dengan cepat, dan seseorang merasa kesulitan untuk melepaskan diri dari pekerjaan tersebut.
Ketiga elemen tersebut selanjutnya menghasilkan skala pengukuran work engagement yang disebut sebagai Utrecht Work Engagement Scale (UWES). Di mana dalam penelitian Schaufeli et al tersebut menunjukkan adanya hubungan positif antara UWES dengan self-report atas perceived health, well-being, dan hubungan sosial; serta memiliki hubungan negatif dengan self-rating atas workaholics dan burnout (Schaufeli at al, sebagaimana dikutip Richard et al, 2009:229 dan Gill, 2007:4).
Referensi:
Gill, David S. 2007. Employee Selection and Work Engagement: Do Recruitment and Selection Practices Influence Work Engagement. Dissertation. Department of Psychology, College of Art and Sciences. Kansas State University, Manhattan, Kansas. Published by UMI Microform 3291391.
Richard, Michael A., William G. Emener, dan William S. Hutchison, Jr. 2009. Employee Assistance Programs: Wellness/Enhancement Programming. Illinois: Charles C Thomas Publisher, Ltd.
Schreuder, AMG dan M. Coetzee. 2007. Careers: An Organisational Perspective. Third edition. Lansdowne: Juta & Co Ltd.
No comments:
Post a Comment