Beli Roti atau Beli Apartemen Bos? Rame Banget

Surabaya, CocoNotes - Padatnya pengunjung event pemilihan unit Westown View yang diselenggarakan di Grand City Ballroom Level 4 dan Diamond...

Rental Surabaya

January 9, 2015

Bukan untuk Dihargai dengan Rupiah

Isu kekerasan terhadap perempuan telah menjadi isu yang selalu mengiringi perjalanan kehidupan manusia. Sejak zaman jahiliyah sampai zaman modern, kekerasan terhadap perempuan telah ditemukan dalam setiap masa peradaban. Kelembutan dan keelokan paras dan bentuk tubuh wanita menjadi bahan yang empuk untuk memosisikan perempuan dalam posisi yang lemah. 
Kelembutannya dalam bersikap dan berperilaku dengan penuh kasih sayang, kesabaran, dan ketelitian memosisikan perempuan sebagai pelaku pekerjaan di ranah domestik yang harus mengurus segala kebutuhan domestik. Yang jika tidak terpenuhi secara sempurna, maka tuntutan kesempurnaan hasil kerja di ranah domestik pun menjadi sumber terjadinya kekerasan dalam rumah tangga, entah dalam bentuk kekerasan fisik maupun kekerasan seksual. 

Posisi perempuan yang hanya di ranah domestik pun menjadi wacana bagi kaum laki-laki unuk mendiskreditkannya sebagai pengabdi yang baik kepada laki-laki. Di sini, laki-laki, yang dengan ‘keperkasaan’ dan maskulinitasnya telah memenuhi fungsi produksinya, menuntut pengabdian perempuan secara fisik dan psikologis untuk memenuhi kebutuhannya dalam hal bereproduksi. Mulai reproduksi ekonomi maupun reproduksi seksual. Seiring dengan semakin berkembangnya pengetahuan dan teknologi, perempuan mulai mengembangkan diri di ranah nondomestik. 

Namun, tentu saja, ranah domestik yang telah distereotype-kan oleh masyarakat sebagai ranah perempuan, tidak bisa dilepaskan begitu saja dari peran perempuan. Karena itu, apapun bentuknya dan bagaimanapun upayanya, perempuan yang telah berperan di ranah nondomestik tetap harus mampu menjaga peran domestiknya. Selanjutnya, dengan peran nondmestik perempuan, maka perempuan pun mulai ke luar rumah untuk beraktivitas. Bekerja di kantoran dan di tempat-tempat umum sebagaimana halnya dengan kaum laki-laki. Berbaur dan bekerja sama dalam kelompok-kelompok. 

Dan ... di sini, kembali perempuan akan menghadapi permasalahan yang berhubungan dengan stereotype kelembutan, feminitas, dan keelokan paras dan rupanya. Banyak ditemukan, dalam lowongan pekerjaan perempuan yang mensyaratkan persayaratan fisik yang harus dipenuhi adalah perempuan berparas cantik, tinggi badan dan berat badan ideal, dan syarat-syarat fisik lainnya yang menonjolkan ke’perempuan’an para kaum hawa ini. 

Dan, selanjutnya, mereka akan dipekerjakan di showroom-showroom atau di bagian frontliner dengan tujuan untuk menarik perhatian konsumen. Para perempuan ini pun diberikan seragam yang sangat menarik perhatian kaum laki-laki. Ragam endorser dan brand ambassador produk berupaya untuk menarik perhatian konsumen dengan menampilkan sosok kecantikan dan kemolekan perempuan. Hal-hal tersebut adalah contoh dari bentuk eksploitasi dan eksplorasi potensi perempuan yang tidak tepat, karena hanya memperhatikan faktor fisik perempuan untuk meraih keuntungan ekonomi yang besar. 
Selain itu, juga akan memicu terjadinya tindakan yang tidak bermoral, seperti memandangi bagian-bagian ter’erotis’ yang kebanyakan ditonjolkan, kemulusan kulit putih bersih, meronanya bibir para perempuan yang menjelaskan produk yang ditawarkan, dan sejenisnya. Yang mana, umumnya akan mengarah pada pujian-pujian dan rayuan kepada perempuan. Di mana perempuan itu sendiri secara kodrati sangat mudah tersanjung dengan rayuan yang memuji dirinya. Hingga tidak jarang perempuan pun terbuai dalam sanjungan yang memabukkan dan membuatnya tidak sadar telah terjerumus dalam pelecehan seksual dan kekerasan seksual. Yang pada akhirnya, akan berakibat pada penyesalan yang tidak berujung. 

Oleh karena itu, hendaknya masyarakat, baik laki-laki maupun perempuan mulai memberikan rasa sayangnya kepada para perempuan dengan sepenuh hati. Menerima kondisi para perempuan dengan segala kealamiahannya dan potensi dasarnya. Bukan hanya potensi fisiknya. Dengan demikian, perlakuan kepada perempuan pun lebih adil dan tanpa diskriminasi fisik. 

Perempuan pun tidak harus ditampilkan dalam posisi yang lemah, tetapi tetap terlindungi dengan perhatian dan cinta masyarakat kepada mereka. Tentunya, jika ingin melindungi perempuan, maka perempuan akan ditempatkan pada posisi yang paling aman. Yaitu posisi yang menghindarkan perempuan dari pandangan-pandangan nakal, colekan-colekan yang tidak sopan, dan gurauan-gurauan, serta sapaan-sapaan yang tidak pada tempatnya. Bukankah saat kita mencintai dan memperhatikan tanaman, maka tanaman itu akan kita lindungi, kita sirami, kita pupuk dengan takaran dan waktu yang tepat. Kita memang akan meletakkan tanaman itu di depan rumah, tetapi kita tidak akan membiarkannya dipetik orang yang lewat sesuka hati. Kita akan menjaga keindahan, kecantikan, dan kesegaran tanaman itu dengan segnap hati. 
Begitupula dengan saat kita memiliki barang yang berharga, semacam emas berlian, maka kita juga akan menjaganya, dan tidak sembarang orang boleh memegang dan memakainya. Kita akan sangat hati-hati dalam menjaga emas berlian yang kita punya. Bahkan tidak jarang kita akan memeliharanya dalam kotak yang indah agar hanya kita saja yang bisa memandangnya dan memegangnya dengan penuh kehati-hatian. Karena kita tidak ingin emas berlian itu patah, berdebu, hilang, dan sebagainya. 
Begitulah dengan perempuan. Sebagai makhluk yang memang diciptakan dengan penuh kelembutan, ketelitian, kesabaran, feminin, dan elok serta jelita, maka hendaknyalah masyarakat dapat menempatkan perempuan sebagai makhluk yang harus disayangi, bukan dimanfaatkan, dieksploitasi, dan dieksplorasi potensi fisiknya untuk memenuhi kebutuhan ekonomi dan materialistas yang lainnya. 

Karena itu, sangat diperlukan sebuah kebijakan yang berpihak pada perlindungan kaum perempuan dari kekerasan seksual. Terutama di bidang industri, agar tidak memanfaatkan kecantikan dan kemolekan perempuan sebagai penarik perhatian konsumen kepada produk dan layanan jasanya. Namun, perempuan diposisikan sebagai pribadi yang utuh dengan kecerdasannya, baik kecerdasan intelektual, emosional, dan spiritualnya. Perempuan harus memiliki payung hukum dan payung kelembagaan, tempat di mana perempuan dapat mengadukan adanya penyelewengan kebijakan atas perlindungan terhadap dirinya. Dengan demikian, setiap jenis penyelewengan dan kekerasan seksual terhadap perempuan akan dapat ditangani secara bijak dan adil.

Gambar: Google Images

No comments:

Post a Comment

CocoGress