Kabar terpopuler di Widget Viva.co.id yang saya pasang pagi ini memunculkan kalimat "Dijemput Paksa, Siapa Penyidik KPK Novel Baswedan?" dan merupakan satu-satunya kabar terpopuler yang muncul. Yang membuat saya tertarik klik sebenarnya karena ada kata-kata Novel saja, karena yang terbetik dalam benak saya adalah Novel sebagai karya sastra. Masa sih, di era reformasi kayak gini masih ada pemberedelan Novel? Jadi ingat nama-nama seperti Pramoedya Ananta Tour, Arswendo Atmowiloto, W S Rendra, dan lain-lainnya yang dulu sering terkait dengan karya sastra 'terlarang'. Pemberedelan kreativitas anak bangsa.
Setelah saya klik, ternyata Novel adalah nama seorang anggota Polri yang ditugaskan menjadi penyidik di KPK, yang juga merupakan saudara Anis Baswedan. So, bukannya Novel karya Baswedan.....
Setelah membaca berita tersebut, terbetik dalam pikiran bahwa seperti ada 'sesuatu' dalam penjemputan paksa tersebut. Masak sih kasus yang sudah terjadi tahun 2004 dan tidak pernah terekspose, kok tiba-tiba muncul di saat-saat sperti ini. La selama delapan tahun itu, kemana saja pak Polri? Apalagi Anis Baswedan merupakan salah satu penyidik KPK yang juga menangani tersangka mantan Gubernur Akpol Irjen Pol Djoko Susilo. Memang sih, Polri tengah menarik para anggotanya yang ditugaskan untuk menjadi penyidik di KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) di mana penarikan ini mengikuti pengungkapan kasus korupsi simulator yang melibatkan Jenderal Polri. Upaya pengungkapan kasus korupsi jenderal ini mengulang 'perseteruan' KPK vs POLRI yang terkenal dengan Cicak melawan Buaya, dalam kasus Susno Duaji versus Bibit dan Candra.
Oleh karena itu, ketika Polri menarik para anggotanya yang diperbantukan sebagai penyidik di KPK maka ulah Polri ini kemudian melahirkan ragam opini publik, termasuk opini publik bahwa langkah Polri tersebut adalah upaya Polri untuk menghalangi langkah KPK dalam memberantas korupsi di Indonesia.
Bagaimana tidak, la wong anggotanya tengah berjuang di jalan mulia kok tiba-tiba ditarik dari jalannya tersebut, padahal para anggota tersebut telah berada di tengah-tengah jalan yang dirintis dengan susah payah. Yang jika ditinggalkan maka akan sulit untuk dilanjutkan oleh orang lain, karena rute perjalanan yang dilalui memerlukan, kejelian, kecermatan, dan ketelitian.
Saya sampai sempat terpikir, we lah kok seperti anak-anak saya yang masih di Taman Kanak-kanak dan di Sekolah Dasar Kelas 2, ketika akur bermain bersama, tetapi ketika sedang ada sedikit bertengkar (nggondok, ---- bahasa jawanya Nesu, Merajuk) maka mainannya sedikit pun tidak boleh disentuh oleh saudaranya.
Memang sih, semenjak dipimpin Antasari Azhar dengan segala tindak tegasnya terhadap para koruptor, KPK sepertinya dikuyo-kuyo, mulai dari gegernya usulan pembangunan gedung KPK oleh Anggota DPR, rencana perubahan undang-undang terkait dengan pengurangan hak dan wewenang KPK, serta pelarangan KPK untuk melakukan penyadapan. Semuanya itu pada akhirnya melahirkan opini publik bahwa tengah ada konspirasi pelemahan KPK, dan bahkan pembunuhan KPK.
So, Halooo pak Polri, Jangan Gondok Dong. Lebih baik bersikap dewasa, sportif, profesional, dan menjunjung nilai-nilai bangsa Indonesiaku yang ku Cinta.
No comments:
Post a Comment