Hati-hati dalam setiap hal (doc. Pribadi, Lokasi, kebun Bibit Manyar, Surabaya) |
Lantas, apa hubungannya dengan melek media?
Saat membaca buku Sholihin (2007), buku tersebut menyarankan agar masyarakat melek media. Artinya dalam menerima informasi maka seseorang diharuskan untuk mencermati kebenaran informasi tersebut sebelum memutuskan untuk melakukan tindakan selanjutnya, baik menyebarkan berita maupun merespon berita tersebut baik respon positif maupun negatif. Dalam penjelasannya tersebut, Sholihin mengutip salah satu Ayat Al-Quran Surat Al Hujurat (49) ayat (6) yang artinya:
"Wahai orang-orang yang beriman, jika datang kepada kalian orang fasik dengan membawa berita, maka telitilah berita itu agar kalian tidak memberikan keputusan kepada suatu kaum tanpa pengetahuan sehingga kalian akan menyesali diri atas apa yang telah kalian kerjakan."
Selanjutnya, Sholihin nmengutip pendapat Ibnu Qoyyim yang mendefinisikan an-naba' dalam ayat ini sebagai berita yang masih belum pasti yang disampaikan pembawa berita. Attabayyun adalah mencari penjelasan hakikat berita itu dan memeriksa seluk beluknya. Sedangkan menurut Imam Asy-Syaukani, tabayyanu berarti at-ta'arruf wa tafahhush (mengidentifikasi dan memeriksa) atau mencermati sesuatu yang terjadi dari berita yang disampaikan.
Seberapa pentingkah tabayyun bagi kehidupan manusia?
Tabayyun penting bagi kehidupan manusia, baik sebagai individu maupun sebagai makhluk sosial. Dengan melakukan tabayyun, maka seseorang akan berhati-hati dalam menerima dan menyampaikan informasi agar tidak merugikan diri sendiri maupun orang lain. Sebagaimana yang telah dijelaskan dalam Al Quran Surat Al Hujurat ayat 6 di atas bahwa kita dilarang untuk memberikan keputusan tanpa pengetahuan, karena jika hal itu dilakukan maka kita akan menyesali pebuatan kita saat kita menyadari betapa kekhilafan kita berdampak buruk pada diri kita maupun orang lain.
Gymnastiar (2003) menjelaskan bahwa bagi siapa saja yang ingin terjaga dari perbuatan zalim, bertabayyun adalah formula agar jangan sampai kita menimpakan musibah kepada seseorang atau suatu kaum hanya karena kesalahan informasi. Selalu mencari informasi dengan hati-hati dan tidak tergesa-gesa mengambil keputusan, hanya karena emosi dan egoisme. Kebiasaan untuk melakukan cek dan ricek atau tabayyun akan membuat kita mengambil tindakan dan keputusan yang lebih adil. Salah satu upaya bertabayyun adalah memperkaya diri dengan informasi, wawasan, ilmu, dan pengalaman. Makin kaya dengan ilmu, pengalaman, informasi, dan wawasan, maka kita akan makin arif dalam bertindak.
Penyebaran informasi yang tidak berdasar akan berakibat pada datangnya fitnah, yang mana fitnah itu telah dikecam sebagai perbuatan yang lebih keji dibandingkan dengan pembunuhan. Oleh karena itu Gymnastiar (2005) menyarankan agar kita selalu mengupayakan selalu untuk ber-husnudzon (berprasangka baik) kepada saudara seiman; dan melakukan tabayyun (cek dan ricek) kepada sumber tepercaya, khususnya kepada orang yang bersangkutan, jika kita mendapat ujian berupa berita tak menyenangkan.
Tabayyun dan Asas Praduga Tak Bersalah dalam Hukum di Indonesia
Negara Indonesia adalah negara hukum (rechsstaat). Pernyataan tersebut ditegaskan dengan sangat jelas dalam Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Amandemen ketiga Pasal 1 ayat (3) bahwa: “Negara Indonesia adalah negara hukum.”
Immanuel Kant (dalam Koetter, 2010) mengungkapkan bahwa konsep rechtsstaat menjelaskan bagaimana negara dibentuk dan dikonseptualisasikan, diikat, dan dibatasi oleh undang-undang melalui tiga cara, yaitu:
- Administrasi negara didasarkan pada hukum (“Gesetzmäßigkeit der Verwaltung”).
- Regulasi dalam hukum formal harus memenuhi kebutuhan atas semuau tindakan negara yang relevan dengan kebebasan individu dan hak milik (“Gesetzesvorbehalt”).
- Semua tindakan administratif harus diarahkan pada judicial review.
Secara teoritis, rechtsstaat dapat diaplikasikan di setiap negara yang memiliki pemahaman konstitusional terhadap peraturan perundang-undangan, seperti monarki konstitusional dan republik, di mana peraturan perundang-undangan dalam rechtsstaat memberikan keadilan (justice) dan komitmen terhadap kesejahteraan (common good) (Haddorff, 2010). Artinya dalam negara hukum ada prinsip-prinsip yang dianut sebagai pedoman dalam penyelenggaraan hukum yang ditujukan untuk memberikan keadilan dan kesejahteraan.
Lantas apa hubungannya dengan tabayyun dan melek media?
Dalam struktur perundang-undangan negara Indonesia, Indonesia menganut asas praduga tidak bersalah saat ada kasus pidana maupun perdata yang diduga dilakukan oleh pelaku. Nasution dan Zein (2006) mengutip Pasal 11 (1) Deklarasi Universal mengenai asas praduga tidak bersalah, yaitu bahwa: “Setiap orang yang dituntut karena diduga melakukan suatu tindak pidana dianggap tidak bersalah, sampai dibuktikan kesalahannya menurut hukum dalam suatu peradilan yang terbuka, di mana dia memperoleh semua jaminan yang diperlukan untuk pembelaannya”.
Bunyi deklarasi tersebut dijelaskan oleh Nasution dan Zein bahwa:
Hak semua orang untuk diangap tidak bersalah sampai terbukti bersalah di pengadilan merupakan salah satu hak inti yang dimiliki seorang tersangka atau terdakwa. Asas praduga tak bersalah (presumption of innosence) merupakan asas yang dimuat dalam instrumen-instrumen internasional dan regional hak asasi manusia. Instrumen tersebut adalah:
Instrumen internasional:
- Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik, Pasal 14 (2)
- Dokumen A. Konvensi mengenai Hak-hak Anak, Pasal 40 (2b dan i) Dokumen A.9.
- Kumpulan Prinsip untuk Perlindungan Semua Orang saat Penahanan dan Pemenjaraan, Prinsip 36 (1) Dokumen H.3
- Konvensi Internasional tentang Perlindungan Hak-hak semua Buruh Migran dan Anggota Keluarganya (1990), Pasal 18 (2) Dokumen A.10.
- Statuta Roma mengenai Pengadilan Pidana Internasional (1998), Pasal 66 Dokumen Q.3.
Instrumen Regional:
- Piagam Afrika (Banjul) tentang Hak Asasi Manusia dan Penduduk, Pasal 7 (1b) Dokumen S.3.1.
- Konvensi Amerika tentang hak Asasi Manusia, pasal 8 (2) Dokumen S.2.2.
- Deklarasi Amerika tentang Hak dan Tanggung jawab manusia, pasal XXVI Dokumen S.2.1.
- Konvensi Eropa untuk Perlindungan Hak Asasi dan Kebebasan Fundamental Manusia, Pasal 6 (2) Dokumen S.1.1.
Winarta (2009) menjelaskan betapa pentingnya asas praduga tak bersalah salam sebuah proses peradilan melalui pernyataanya sebagai berikut:
Proses peradilan yang mengabaikan asas praduga tidak bersalah telah menyalahi proses peradilan yang adil dan fair, karena itu, asas praduga tidak bersalah (presumption of innocence) harus dipegang teguh dalam rangka "due process of law". Pentingnya asas praduga tidak bersalah secara moral akan menjaga seseorang untuk tidak tergesa-gesa menvonis orang lain sebelum membuktikan kebenaran asumsinya atau dakwaannya. Meskipun upaya penyidikan dan penahanan dilakukan untuk melakukan penegakan hukum dan keadilan, tetapi jika dilakukan dengan tergesa-gesa tanpa ada penyidikan dan pembuktian secara prosedural dan dengan sungguh-sungguh maka dampaknya bukan pada penegakan peradilan, tetapi akan mengarah ke arah fitnah.
Winarta juga mengungkapkan dengan jelas bagaimana penahanan kepada seseorang harus dilakukan dengaan hati-hati, yang didasarkan pada alasan yang jelas dan masuk akal, karena andaikata tersangka atau terpidana tersebut kemudian tidak terbukti bersalah maka hak asasi manusia dari tersangka atau terdakwa sudah mengalami penderitaan, yaitu dengan telah dikurung dan tidak dapat bepergian secara bebas. Belum lagi reputasi dan nama baiknya sudah dilanggar seolah-olah sudah dinyatakan bersalah.
Bahkan Gustiawan (2007) mengutarakan dalam proses penyidikan tindak pidana di sektor perpajakan pun menganut asas praduga tidak bersalah. Dengan berdasar pada Keputusan Dirjen Pajak No. KEP-272/PJ/2002, 17-05-22, Pasal 7-23, Gustiawan menjelaskan bahwa “Asas praduga tidak bersalah, bahwa setiap orang yang disangka, dituntut, dan atau dihadapkan di muka sidang pengadilan, wajib dianggap tidak bersalah sampai adanya putusan pengadilan, wajib dianggap tidak bersalah sampai adanya putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan memperoleh kekuatan hukum tetap”.
Artinya, di wilayah apapun bertabayyun adalah hal penting sebelum menyebarluaskan informasi agar tidak sampai menyesalkan perbuatan yang dilakukan secara terburu-buru oleh nafsu angkara, iri, hasud, yang hanya mengedepankan emosi. (Semoga kita terhindar dari hal-hal yang demikian)
Penutup
Akhirnya, dengan membaca uraian di muka sikap berhati-hati dalam menerima, menggunakan, dan menyampaikan informasi, melalui media apapun adalah sebuah hal yang krusial, karena jika tidak maka ketidakhati-hatian tersebut akan mengarah pada fitnah yang tidak hanya mencelakakan orang lain, tetapi juga akan mencelakakan diri sendiri, baik secara langsung maupun tidak langsung. Karena orang yang menyadari kesalahannya setelah melakukan kesalahan akan didera penyesalan yang membuat batin merasa tidak tenang.
Sikap berhati-hati dalam ajaran agama diisyaratkan melalui pentingnya bertabayyun, sementara dalam hukum positif di Indonesia, negara Indonesia mengedepankan berlakunya asas praduga tidak bersalah. Dengan berhati-hati dalam menerima dan menyampaikan informasi, serta mengedepankan akal sehat dan ketenangan hati dan pikir, maka diharapkan akan diperoleh hubungan bermedia yang lebih dewasa dan rasional.
Referensi:
- Gustiawan, S. Uwon. 2007. Pedoman Praktis Ketentuan Umum dan Tata cara Perpajakan, Jakarta: Gramedia Widyasarana Indonesia.
- Gymnastiar, Abdullah. 2003. Menjemput rezeki dengan berkah: Kumpulan Tulisan Tausiyah. Jakarta: Penerbit Republika.
- Gymnastiar, Abdullah. 2005. Inilah indahnya Islam dengan MQ, MQS Pub.
- Haddorff, David. 2010. Barth and Democracy: Political Witness without Ideology, diedit oleh Daniel L. Migliore, dalam Commanding Grace: Studies in Karl Barth's Ethics, Wm. B. Eerdmans Publishing Co., 2010, h. 96-121.
- Koetter, Matthias. 2019. Rechtsstaat und Rechtsstaatlichkeit in Germany, di dalam Matthias Koetter/Gunnar Folke Schuppert, Understandings of the Rule of Law in Various Legal Orders of the World, Rule of Law Working Paper Series, Nr. 1, Berlin, 2010 (ISSN 2192‐6905).
- Nasution, Adnan Buyung dan A. Patra M, Zein. 2006. Instrumen Internasional Pokok Hak Asasi Manusia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, Bekerja sama dengan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia dan Kelompok Kerja Ake Arif.
- Sholihin, Oleh. 2007. SOS, Save Our Soul. Jakarta: Gema Insani Press.
- Winarta, Frans Hendra. 2009. Suara Rakyat Hukum Tertinggi, Jakarta: Penerbit Buku Kompas.
berita itu memang menghebohkan. Saya sendiri hampir menuliskannya dalam salah satu blogku kemarin.
ReplyDeletedan .. di situ peran media yang bisa bikin heboh sebuah peristiwa ...
ReplyDelete