Beli Roti atau Beli Apartemen Bos? Rame Banget

Surabaya, CocoNotes - Padatnya pengunjung event pemilihan unit Westown View yang diselenggarakan di Grand City Ballroom Level 4 dan Diamond...

Rental Surabaya

November 2, 2012

Guru, Representasi Keikhlasan dalam Pengabdian


Taman kanak-kanak (TK) adalah awal pertama kali seorang anak mengenal lingkungan sosialnya setelah lingkungan sosial di keluarga. Pada masa ini, peran guru TK sebagai jembatan untuk membantu anak melangkah ke dunia yang lebih luas. Bermain dan belajar dengan penuh kebebasan dan pembelajaran kedisiplinan dan kebersamaan membantu anak melalui tugas perkembangan masa kanak-kanaknya. Di sini, sosok guru TK harus benar-benar mampu mewakili sosok orangtua, terutama Ibu yang tulus dan totalitas dalam membimbing, mendidik, dan mengajarkan kehidupan bagi anak-anak.

taman kanak-kanak
Sumber: kidsandtoys.edublogs.org
Waktu masih di Taman Kanak-kanak, guru TK saya ada tiga, yang satu namanya Bu Kaslah, orangnya berbadan subur, tetapi lincah dan suaranya tegas. Yang saya ingat dari beliau, saat menyanyikan lagu 'naik delman'. Pada saat sampai di lirik 'Hai, tuk tik tak tik tuk, tik tak tik tuk, tuk tik tak tik tuk, tik tak tik tuk, suara sepatu kuda' maka tangannya yang satu ada di pinggang yang digoyang kiri kanan, dan yang satunya di atas kepala di putar-putar. Pada masa itu, kalau mengajar, para guru menggunakan jarik dan kebaya atau rok panjang (maxi) dengan baju kurung, serta kerudung. Sepatunya? Sandal jepit, atau.....selop. 
Kalau yang satunya Bu Masyitoh. Orangnya tinggi langsing, dan seingat saya berkulit bersih. Yang saya ingat dari beliau adalah saat mengajarkan huruf Hijaiyyah, yang mana ketika menyebut huruf SYIN, di mana demi menegaskan pengucapan huruf tebal tersebut, maka Bu Masyitoh akan menyebutnya dengan SYUIN.
Nah, guru TK yang satu lagi kebetulan adalah kakak saya sendiri. Orangnya bertubuh kecil, tetapi sangat sabar. Yang saya ingat adalah ketelatenannya membacakan cerita, bermain kucing dan tikus, dan bermain batu-batu kecil di kelas. Selain mengajar di sekolah, kakak saya juga mengajar mengaji di rumah (gratis lo, karena mengaji di rumah ini adalah program kakek saya dalam mengajarkan agama Islam kepada warga sekitar, yang dilanjutkan oleh kedua orangtua saya yang juga berprofesi sebagai guru, dan kakak saya).
Pada jenjang pendidikan TK ini, ada tingkatan (kelas) A, B, dan C. Di mana selama tiga tahun menjadi anak TK, tidak pernah membawa buku, tas, pensil, dan ragam alat tulis lainnya saat ke sekolah, karena memang belum diajarkan baca, tulis, dan berhitung. adi, waktu berangkat ke sekolah, ya hanya membawa semangat saja. Mata pelajarannya adalah menyanyi, menari, bermain, bercerita. Ada boneka peraga yang dijalankan dengan tangan, jadi tangan kecil kami atau tangan bu Guru kami dimasukkan ke badan boneka yang terbuat dari kain, tetapi kepalanya dibuat dari bahan semacam gip. Dengan boneka-boneka itu, ragam cerita bisa dihasilkan yang mana kami, para murid TK ini, mendengarkan dengan antusias. 
Ada juga alat peraga musik, seperti gambang, kricikan, rebana, yang kami bisa menyuarakannya dengan gaduh. Ada juga malam (lilin) warna-warni, kertas warna-warni, balok-balok kayu dengan beragam bentuk (segitiga, lingkaran, kotak, lempeng, silinder, dan sebagainya), bongkar pasang, buku-buku cerita bergambar, crayon yang ukurannya besar-besar. Nah, dalam kaitannya dengan buku cerita bergambar, kami tidak diajarkan untuk membaca tulisan, tetapi buku itu akan dibacakan dan kami diperlihatkan dengan gambar-gambar yang ada dalam buku.
Adanya papan tulis dan kapur tulis pun, bukan digunakan untuk mengajarkan membaca, menulis, dan berhitung, tetapi untuk menggambar dan sekedar mengenalkan.
Saya juga teringat jika waktunya peringatan hari-hari besar nasional, di mana para guru kami akan sedemikian sibuk menyiapkan kami untuk tampil di panggung, menari, berpuisi, menyanyi, dan berdrama. Tarian yang masih saya ingat hingga saat ini adalah tari piring atau tari lilin. Piring yang dipakai waktu itu berbahan tempurung kelapa yang dihaluskan, sehingga halus sekali. Kami tampil di panggung dengan senangnya. Dan, tahukah Anda, bagaimana kami melakukan latihan? Latihan diiringi lagu yang dinyanyikan oleh para guru kami tersebut. Penggunaan musik hanya dilakukan pada saat latihan menjelang pentas dan saat pentas.
Pentas lain yang masih terngiang dalam ingatan saya adalah saat kami menyanyikan lagu 'Desaku yang Kucinta', di mana satu kelompok di depan menyanyikan lagu itu dengan koor, sementara ada satu teman kami yang menyairkan liriknya. Syahdu dan merdu. Kami, yang masih lucu, polos, lugu, berada di panggung yang ditonton oleh segenap masyarakat di desa kami, bahkan dari desa tetangga kami, dan disambut antusias oleh warga desa kami.
Begitu hebatnya guru-guru TK kami pada saat itu. Cara beliau-beliau mendidik kami sungguh mulia dan penuh ketulusikhlasan. Bagaimana tidak? Kami yang anak desa, yang masih ingusan, yang lubang hidungnya sering mueller, dan mengusapnya sendiri dengan tangan-tangan kami yang kotor, sehingga membuat muka kami tambah kotor... dan guru-guru kami akan membantu kami untuk mengelapkan ingus dan membersihkan muka kami.Dan, juga kadang beliau-beliau itu akan bertandang ke rumah para murid yang tidak masuk.
Bukan hanya itu, sekolah TK kami waktu itu juga gratis, karena sekolah TK kami adalah TK Desa Dharmawanita. Nah lo... lantas, dari mana gaji para guru itu? Guru kami diberi kompensasi oleh desa. Tentu jumlahnya tidak sepadan dengan pengabdiannya, karena tujuan para guru itu mengajar adalah untuk mendidik kami, si anak desa, agar mampu mengenyam pendidikan yang lebih baik. Jadi, penghasilan bukan merupakan motivasi atau tujuan utama para guru kami, karena selain menjadi guru, beliau-beliau adalah petani dan pedagang, yang bertani dan berdagang di saat tidak mengajar.
Meskipun demikian, para guru TK tersebut tidak hanya mengajar anak-anak TK saja. Di sela-sela kesibukan bertani dan berdagangnya, beliau-beliau juga turut berpartisipasi dalam acara di Desa kami, termasuk turut serta melancarkan pelaksanaan program KEJAR PAKET A pada warga Desa yang kebanyakan masih buta huruf.
Satu lagi yang mengharukan adalah, bahwa para guru kami itu harus juga menghadiri pertemuan guru TK di kecamatan setiap satu bulan sekali. Nah, jarak desa kami dengan kota kecamatan sekitar tujuh kilometer (sekarang sih bisa ditempuh seperempat atau setengah jam saja, karena sudah banyak warga desa yang memiliki kendaraan bermotor). Waktu itu, (awal tahun 1980an), para guru kami harus berjalan kaki melintasi jalan yang kiri kanannya adalah sawah ladang penduduk, menuju ke tempat di mana beliau-beliau bisa naik mobil angkutan. Di sini, kadang saya ikut ke kota kecamatan, karena salah satu guru itu adalah kakak saya. Perjalanan yang cukup melelahkan. Belum lagi saat harus ngetem angkutan yang kadang munculnya lama sekali, sehingga kami harus terkantuk-kantuk di tempat kami menunggu kendaraan.
Setiap kali selesai pertemuan guru, selalu ada rencana baru yang ingin diterapkan oleh para guru tersebut untuk memperbaiki pendidikan di jenjang TK kami. Saya bisa tahu itu, karena biasanya kakak saya akan membicarakannya dengan ibu saya (yang juga seorang guru di Madrasah Ibtidaiyah). Di mana untuk merealisasikan rencana ini, para guru kami tidak memutuskan sendiri, tetapi juga melibatkan para wali murid yang dianggap memiliki kapasitas untuk diajak berbicara. (#maklum, kami di desa adalah para petani yang tidak mengenyam bangku sekolah, dan hanya beberapa saja orangtua yang lulus sekolah rakyat).
Demikian besar semangat para guru TK kami waktu itu, sehingga masih membekas dalam diri, hati, dan jiwa kami sampai di titik terkini. Ketulusikhlasan dalam pengabdian tanpa batas dan spesialisasi menjadikan seluruh perilaku dan tindak tanduknya benar-benar layak untuk ditiru.
Yang terakhir adalah kenyataan bahwa beliau-beliau, guru TK kami, bukan sosok guru yang mengenyam pendidikan di tingkat Perguruan Tinggi, Kedua guru TK kami 'hanya' lulusan SMP yang melanjutkan sekolah ke SPG (Sekolah Pendidikan Guru) dan PGA (Pendidikan Guru Agama) sambil mengajar kami. Kakak saya bahkan benar-benar hanya lulusan SMP Swasta di Tuban. Namun, telah berapa banyak anak Desa kami yang bisa mengenali huruf Hijaiyyah, alfabet, dan mampu mendapatkan gelar Sarjananya? Ada yang menjadi Perawat, Bidan, Dokter, Pengusaha, Guru, Dosen, .....

Dan...........
Terima kasihku kuucapkan
Pada guruku yang tulus
Ilmu yang berguna selalu dilimpahkan
Untuk bekalku nanti
Setiap hariku dibimbingnya
Agar tumbuh bakatku
Kan kuingat selalu nasehat guruku
Terima kasih kuucapkan

Di saat para guru TK kami menikmati masa tua mereka di desa, para anak desa yang dulunya masih ingusan sekarang telah mengembara ke luar desa kami dengan ragam profesinya. Hingga di suatu saat, dengan gagah ada yang menyempatkan bertandang ke rumah ibu gurunya yang dulu mengusap ingus dan membersihkan mukanya yang kotor dengan  tangan penuh ketulusan dan kasih sayang.... Rumah ibu guru yang masih tetap di tempat yang dulu, dengan dua buah pohon mangga di depan rumahnya.... yang tetap sederhana, tanpa pagar tinggi dan mobil mewah.....

No comments:

Post a Comment

CocoGress