Surabaya, CocoNotes - Begitu masuk gapura menuju desa, jalanan yang dilalui semakin menghentak. Di musim kemarau, jalanan tersebut mungkin masih lumayan untuk dilalui, karena batu dan tanahnya kering. Tetapi di musim penghujan, batu dan tanah yang beradu menjadikan roda kendaraan harus bisa memilih sela-sela batu, agar tidak tergelincir. Terlebih, tidak ada angkutan desa yang masuk ke desa ini.
Karena itu, jika memasuki desa ini, penumpang harus menyewa ojek sejak di terminal Kesamben, Blitar atau menyewa mobil angkutan yang bersedia dibayar borongan. Pantas saja, jika ada pendatang yang bilang, jika sudah masuk ke desa, maka sedih rasanya jika harus ke luar lagi. Karena jalan yang dilaluinya sungguh memprihatinkan.
Selain berkelok, sempit, naik turun, juga berbatu-batu. Sementara di sisi kiri kanan masih berupa hutan, tegalan, dan kadang-kadang ada satu dua rumah penduduk. Sungguh menyedihkan jika harus melaluinya di waktu malam, karena penerangan juga masih sangat minim.
Di tengah desa, yang dianggap sebagai pusat desa, ada kali atau sungai yang airnya cukup deras, karena waktu itu kebetulan musim hujan. Saat pertama kali datang ke desa ini pada tahun 1996, kali yang hanya selebar dua sampai tiga meter ini merupakan tempat utama bagi warga desa untuk melakukan aktivitas mandi, cuci, dan kakus.
Masih sangat jarang sekali di sini ditemukan kamar mandi. Bahkan, meskipun ada kamar mandi sekalipun, para warga lebih senang melakukan aktivitas mandi, cuci, dan kakus di kali. Tidak jarang, ketika sedang asyik-asyiknya mandi ataupun mencuci, maka dari arah hulu akan nampak hilang timbul kotoran manusia yang hanyut mengikuti arus air.
Selain untuk tempat mencuci, mandi, dan buang air besar, di kali ini pula penduduk menangkap ikan dan udang-udangan untuk lauk. Maklum, untuk ke pasar, warga harus ke luar desa dan melalui jalan berbatu yang memprihatinkan. Sehingga untuk memenuhi kebutuhan lauk pauk dan sayur mayur, penduduk memanfaatkan segenap potensi yang ada di desa.
Dan, memang, kreativitas penduduk dalam memanfaatkan bahan pangan dari hasil bumi sangat bagus. Ubi, ketela, bentul, kacang, semua bisa diolah menjadi lauk yang lezat, makanan penutup, dan sayur. Jadi jangan heran, jika di desa ini sayur, lauk, dan makanan penutupnya berbahan dari ubi kayu.
Jika ada tamu dari luar desa, maka ayam kampung yang banyak berkeliaran akan segera ditangkap, dipotong, dan dimasak. Atau mencari ikan dan udang-udangan di kali. Semua sungguh sehat alami. Apalagi, memasaknya pun masih menggunakan tungku dari tanah.
Perbaikan Kualitas Kesehatan dan Faktor Pendukungnya
Seiring dengan semakin meningkatnya pengetahuan dan pengalaman penduduk, serta hadirnya pendatang ke desa, berangsur-angsur warga desa mulai memiliki kamar mandi dan kakus. Mulai dari kakus satu lubang sampai kakus duduk dan jongkok. Pengetahuan dan pengalaman penduduk tersebut berasal dari adanya penduduk yang merantau ke kota baik untuk sekolah maupun untuk bekerja, dan bahkan menjadi TKI (Tenaga Kerja Indonesia) ke luar negeri.
Karena itu, jika memasuki desa ini, penumpang harus menyewa ojek sejak di terminal Kesamben, Blitar atau menyewa mobil angkutan yang bersedia dibayar borongan. Pantas saja, jika ada pendatang yang bilang, jika sudah masuk ke desa, maka sedih rasanya jika harus ke luar lagi. Karena jalan yang dilaluinya sungguh memprihatinkan.
Selain berkelok, sempit, naik turun, juga berbatu-batu. Sementara di sisi kiri kanan masih berupa hutan, tegalan, dan kadang-kadang ada satu dua rumah penduduk. Sungguh menyedihkan jika harus melaluinya di waktu malam, karena penerangan juga masih sangat minim.
Suasana Desa Di Malam Hari |
Masih sangat jarang sekali di sini ditemukan kamar mandi. Bahkan, meskipun ada kamar mandi sekalipun, para warga lebih senang melakukan aktivitas mandi, cuci, dan kakus di kali. Tidak jarang, ketika sedang asyik-asyiknya mandi ataupun mencuci, maka dari arah hulu akan nampak hilang timbul kotoran manusia yang hanyut mengikuti arus air.
Saat Musim Kemarau, Kali Ini juga Turut Menyusut Airnya |
Dan, memang, kreativitas penduduk dalam memanfaatkan bahan pangan dari hasil bumi sangat bagus. Ubi, ketela, bentul, kacang, semua bisa diolah menjadi lauk yang lezat, makanan penutup, dan sayur. Jadi jangan heran, jika di desa ini sayur, lauk, dan makanan penutupnya berbahan dari ubi kayu.
Ayam Kampung yang Berkeliaran, Siap Untuk Dijadikan Lauk Jika Diperlukan |
Perbaikan Kualitas Kesehatan dan Faktor Pendukungnya
Seiring dengan semakin meningkatnya pengetahuan dan pengalaman penduduk, serta hadirnya pendatang ke desa, berangsur-angsur warga desa mulai memiliki kamar mandi dan kakus. Mulai dari kakus satu lubang sampai kakus duduk dan jongkok. Pengetahuan dan pengalaman penduduk tersebut berasal dari adanya penduduk yang merantau ke kota baik untuk sekolah maupun untuk bekerja, dan bahkan menjadi TKI (Tenaga Kerja Indonesia) ke luar negeri.
Para perantau ini kemudian menikah dengan orang dari luar desa. Pengalaman di perantauan baik untuk sekolah maupun untuk bekerja inilah yang membawa perbaikan perspektif kehidupan di desa.
Untuk sanitasi misalnya, kini kondisi di desa sudah tidak lagi seperti belasan tahun silam. Rumah tangga kini sudah dilengkapi dengan kamar mandi yang dilengkapi dengan bak mandi besar, sehingga cadangan air nelimpah. Rata-rata setiap kamar mandi juga sudah dilengkapi dengan WC jongkok. Bahkan sebagian sudah dilengkapi dengan WC duduk.
Sebagian dapur juga sudah dilengkapi dengan wastafel dan kompor gas, sehingga dapur bersih dan nyaman.
Untuk memenuhi kebutuhan air bersih, penduduk secara bergotong royong mengalirkan air dari sumber mata air secara langsung dengan menggunakan selang-selang panjang. Rata-rata penduduk menampung air tersebut di dua Bak Mandi bersusun berukuran sangat lebar dan besar. Untuk selanjutnya dialirkan melalui pipa-pipa menuju tempat penggunaan akhir, seperti ke wastafel atau bak penampungan air untuk memasak, mencuci, dan lain-lain. Air pun berlimpah ruah untuk memenuhi kebutuhan mandi, mencuci, dan memasak, sehingga penduduk tidak lagi harus ke kali untuk mandi dan mencuci.
Jika dilihat dari kondisi desa pada tahun 1996 yang kondisinya sungguh memprihatinkan dan perubahannya hingga tahun 2014 saat ini, maka dapat dijelaskan bahwa perjalanan untuk memenuhi kebutuhan air bersih dan sanitasi di desa ini tergolong lama, hampir 20 tahun. Apalagi, sampai saat ini, masih belum semua penduduk mampu memenuhi kebutuhan air bersih dan sanitasi secara layak. Masih ada penduduk yang harus tinggal di rumah berdinding bambu dengan kondisi yang sangat belum layak. Perbedaan antara si kaya dan si miskin pun terlihat sangat mencolok.
Sebagian Penduduk Masih Memasak dengan Tungku Tanah |
Menyusur Jalan Setapak |
Ruman-rumah yang Masih 'Tenggelam' di Antara Pepohonan |
Jika ada penduduk yang sakit atau melahirkan, maka penduduk tersebut akan di bawa ke bidan desa yang terletak di desa tetangga. Artinya, si pasien harus melalui jalanan yang berkelok, naik turun terlebih dahulu agar bisa memperoleh perawatan dari tenaga kesehatan. Rumah sakit rujukan terdekat pun adanya di Kota Wlingi.
Orang Sakit dan Balita, serta Anak-anak di Desa |
Demikian pula ketika ada persalinan, maka ibu yang akan melahirkan harus melalui perjalanan yang lumayan jauh untuk mencapai tempat praktik bidan di desa sebelah. Hal seperti ini juga bisa berdampak pada terjadinya keterlambatan rujukan ke rumah sakit jika terjadi kelainan pada ibu dan bayi. Seperti pendarahan pada ibu melahirkan, kelahiran prematur, dan lain-lain. Hal-hal tersebut memang kadang kala ditemukan di desa terpencil.
"Begini lo Bu. Sebenarnya dari awal sudah ada indikasi pendarahan pada persalinan kakak saya, dan sudah diupayakan untuk dirujuk ke rumah sakit. Tetapi ya, sudah takdir Bu. Belum sampai di rumah sakit, kakak saya harus meninggal. Dan, kini ponakan saya harus tumbuh tanpa ibu lagi. Padahal ini anak pertama," Ungkap seorang warga desa yang juga tinggal di desa terpencil beberapa bulan yang lalu.
Melihat dampak keterpencilan desa dan sulitnya akses menuju fasilitas dan tenaga kesehatan di muka maka percepatan kualitas kesehatan di wilayah perdesaan menjadi sebuah keniscayaan bagi pemerintah. Dengan demikian ketercapaian lima pilar perdesaan sehat akan lebih cepat terwujud.
Sebagaimana dijelaskan dalam official website perdesaan sehat bahwa lima pilar perdesaan sehat meliputi:
- Percepatan ketersediaan Dokter Puskesmas bagi seluruh puskesmas di daerah tertinggal.
- Percepatan ketersediaan Bidan Desa bagi seluruh desa di daerah tertinggal.
- Percepatan ketersediaan Air Bersih bagi setiap rumah tangga di daerah tertinggal.
- Percepatan ketersediaan Sanitasi bagi setiap rumah tangga di daerah tertinggal.
- Percepatan ketersediaan Gizi Seimbang bagi Ibu Hamil, Ibu Menyusui, dan Balita.
Berdasarkan uraian di muka maka dapat disimpulkan bahwa pada hakikatnya sebuah desa, sejauh apapun jaraknya dari pusat pemerintahan ataupun kota, sebenarnya memiliki potensi yang dapat mendukung percepatan dan pemerataan pembangunan, termasuk percepatan kualitas kesehatan di perdesaan.
Naturalitas dan kealamian proses perbaikan sanitasi dan pemenuhan air bersih di salah satu desa di Kecamatan Wates, Blitar di atas merupakan contoh bahwa sebuah desa dapat berproses untuk berbenah dengan memanfaatkan potensi sumberdaya alam dan kearifan lokal yang dianut oleh warga.
Gotong royong dan kebersamaan antarwarga mampu menjadikan penduduk kini tidak lagi harus mandi dan mencuci di kali. Air bersih tersedia secara melimpah dengan memanfaatkan buluh-buluh bambu yang digunakan untuk mengalirkan air dari sumber mata air menuju ke rumah-rumah penduduk.
Hingga akhirnya, dengan semakin bertambahnya pengetahuan dan pengalaman, serta hadirnya pendatang dari luar desa, maka buluh-buluh bambu itu sekarang diganti dengan selang plastik dan pipa-pipa air. Demikian pula dengan pembangunan sanitasi, terjadi melalui proses yang sangat alami.
Proses yang terjadi secara perlahan karena adanya pendatang yang menikah dengan penduduk asli yang merantau. Kehadiran pendatang yang tidak biasa melakukan aktivitas mandi, cuci, dan kakus di kali ini mendesak warga untuk menyediakan kamar mandi dan kakus. Di mana, setelah dijalani dan mendapatkan manfaat maka keberadaan kamar mandi dan kakus pun mulai menjadi kebutuhan semua penduduk.
Keterjangkauan dan Ketersediaan Fasilitas & Tenaga Kesehatan: Upaya Percapatan Perbaikan Kualitas Kesehatan Desa Tertinggal
Akhirnya, untuk percepatan peningkatan kualitas kesehatan di perdesaan sehat, hanya diperlukan sedikit sentuhan dari pemerintah melalui kebijakan pembangunan terhadap faktor pendukung optimalisasi potensi masyarakat di desa. Faktor pendukung tersebut adalah kemudahan akses menuju lokasi, terutama dengan memperbaiki jalan desa. Dengan mudahnya akses menuju desa terpencil maka dokter dan bidan yang ditugaskan di desa tidak merasa enggan untuk mengabdi di sana dan menempati Puskesmas yang ada di desa.
Selain itu, dengan diperbaikinya jalan maka perjalanan yang diperlukan oleh pasien rujukan juga bisa dilakukan dengan lebih cepat. Terlebih, jika jalanan telah diperbaiki, maka kemungkinan masuknya angkutan desa juga akan lebih besar. Dengan cepatnya jalur transportasi, akan mengurangi keterlambatan penanganan pasien di rumah sakit terdekat. Dengan kata lain, melalui kebijakan pemerintah dalam memenuhi satu faktor pendukung saja sudah akan mampu memenuhi lima pilar perdesaan sehat sebagai langkah untuk mewujudkan tercapainya kualitas kesehatan di desa terpencil dan tertinggal.
Semua gambar: Dokumen Pribadi
halo mbak, salam kenal, selamat ya sudah menjadi juara di Perdesaan sehat
ReplyDeleteAlhamdulillah, terimakasih mBak Evrina :)
ReplyDeleteSelamat juga buat mBak Evrina :)