|
google.com |
Surabaya, CocoNotes - Setelah lama tidak nulis di blog, kok ya tergelitik juga pingin menulis. Geli-geli gila rasanya bila ditahan....Gara-gara baca rentetan
update news di Yahoo.com saat mau buka email. Kok ya muncul nama Akil Mochtar, Ketua Mahkamah Konstitusi periode 2013-2015 yang baru diangkat beberapa bulan yang lalu untuk menggantikan Machfudh MD. Akil Mochtar yang setiap saat menjadi wacana media televisi dan wacana perbincangan rakyat akibat ulah kasus korupsinya yang tertangkap tangan oleh
KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi). Akil Mochtar yang duduk di kursi tertinggi di Mahkamah Konstitusi, sebuah lembaga peradilan yang putusan-putusannya bersifat final.... la da lah....Jika tempat peradilan yang dipercaya seluruh rakyat untuk memayungi dan mengayomi tegaknya hukum dan keadilan, ternyata masih bisa disentuh dengan uang aka suap aka
korupsi .... (
actually, apa sih beda suap dengan korupsi?)
dan yang menggelitik adalah kisah pejalanan Akil Mochtar sebenarnya cukup mengisnpirasi, bahkan sangat menginspirasi. Baca saja kutipan berita dari Tribunnews.com yang dipublikasi Yahoo.com melalui headline "Akil Mochtar, dari Tukang Semir, Ketua MK, Hingga Tahanan KPK" berikut ini:
Lahir di Putussibau, sebuah daerah terpencil di Kalimantan Barat, 53 tahun silam (red- 18 Oktober 1960), Akil Mochtar tak pernah membayangkan dirinya bisa menjadi seorang Ketua Mahkamah Konstitusi. Namun kesulitan hidup dan kemiskinan, telah menimbulkan tekad kuat di hati Akil untuk bisa maju dan mengubah hidupnya menjadi lebih baik.
”Saya menghabiskan masa kecil di sebuah daerah terpencil, sebuah wilayah perbatasan antara Indonesia dan Malaysia. Daerah itu dulu menjadi wilayah konflik antara Indonesia dengan Malaysia,” tutur Akil kepada Tribunnews.com, dalam sebuah perbincangan ringan beberapa waktu silam.
Jarak antara kampung halamannya dengan Pontianak, ibukota Provinsi Kalimantan Barat, berjarak 860 Km. ”Dulu belum ada jalan darat, masih lewat sungai. Sekitar 14 hari kalau ditempuh pakai kapal kecil,” kata Akil mendeskripsikan wilayah asalnya.
Usai menamatkan SMP, orang tuanya nyaris tak bisa membiayai Akil sekolah ke tingkat yang lebih atas. Karena itu sebagai anak ke-6 dari 9 bersaudara, Akil harus berusaha mencari biaya sendiri guna menyambung pendidikannya ke jenjang yang lebih tinggi. Tantangan tak hanya itu. Di kampungnya saat itu tak ada SMA. Karena itu Akil terpaksa hijrah ke Pontianak untuk melanjutkan sekolah. ”Ayah saya berpesan, kalau mau mengubah nasib maka hijrahlah, merantau,” kata Akil menirukan ucapan ayahnya.
Akhirnya dengan menumpang sebuah kapal boat, Akil menyusuri sungai Kapuas selama 14 hari, guna melanjutkan pendidikannya di sebuah SMA di Pontianak.
Sesampainya di Pontianak, lagi-lagi Akil harus bergelut dengan persoalan biaya sekolah yang menghimpit. Sementara cita-citanya untuk lulus dan melanjutkan kuliah terus bergelora.
”Untuk biaya sekolah, semua profesi saya lalui. Dari loper koran, tukang semir, supir, hingga calo,” kenang pria yang menamatkan pendidikan doktornya di Unpad Bandung ini. ”Pokoknya semua pekerjaan yang mendatangkan uang untuk membiayai sekolah. Yang penting tidak melakukan kejahatan,” tuturnya.
Usahanya tak sia-sia. Akil pun lulus dan bisa melanjutkan kuliah di Fakultas Hukum di Universitas Panca Bhakti Pontianak. Untuk menyambung kelangsungan kuliah, Akil menyambi menjadi sopir video shooting. ”Waktu itu lagi ramai- ramainya video shooting. Saya pun jadi sopir mobil booksnya. Ditabung untuk hidup sehari-hari, biaya kuliah hingga skripsi,” kisah Akil. ”Waktu itu, untuk daftar skripsi Rp 75 ribu. Dari upah sopir saya cuma ada tabungan Rp 50 ribu. Sisanya pinjam sana-sini,” ujar Akil.
Setelah jadi sarjana, mulailah Akil terlibat langsung dalam perubahan sosial. Saat rekan-rekannya memilih masuk Akademi Pemerintahan Dalam Negeri (APDN), Akil memilih jadi pengacara. ”Saat itu sih inginnya jadi jaksa. Tapi akhirnya malah jadi pengacara. Alhamdulillah dari lawyer itu hoki saya bagus, rezeki mengalir,” kata suami dari Ratu Rita itu.
Singkat cerita, sukses sebagai pengacara, Akil diajak bergabung ke Partai Golkar oleh salah seorang gurunya. Saat itu reformasi 1998 baru terjadi. Dari partai beringin itu, Akil berhasil duduk menjadi anggota DPR RI selama 2 periode, dari 1999 hingga 2008.
Namun menjadi wakil rakyat rupanya belum membuat Akil puas. Bermodal pendidikan yang dimilikinya, Akil melamar menjadi "wakil Tuhan" alias hakim konstitusi. Dan ia pun lolos menjadi hakim konstitusi lewat jalur DPR. Sebelumnya Akil juga pernah mencoba peruntungan ikut Pilkada Kalimantan Barat, namun gagal.
Karier Akil rupanya tak hanya sebatas menjadi hakim MK. Awal April 2013, dalam rapat permusyawaratan hakim, Akil terpilih menjadi orang nomor satu di Mahkamah Konstitusi, menggantikan Mahfud MD yang pensiun.
Dalam perbincangan itu, Akil sempat menyatakan tekadnya menjadikan Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga yang bersih dan berperan dalam pengembangan demokrasasi di Indonesia. ”MK punya peran penting dalam menciptakan demokrasi yang berdasarkan hukum,” jelasnya.
Akil mengakui masih banyak tantangan yang dihadapi MK. Menurut dia, MK adalah lembaga yang berperan mengontrol dan mengawal konstitusi, apakah dijalankan atau tidak oleh semua penyelenggara negara maupun warga negara. ”Semua yang dilakukan di negara ini kan harus berpedoman pada konstitusi. Jika ada yang menyimpang, MK yang mengontrolnya melalui kewenangan yang ada. Namun hal ini tidak semua orang paham,” kata dia.
”Akan banyak usaha orang untuk menghancurkan MK. Orang akan melakukan tekanan politik. Kalau tidak bisa secara politik, maka dengan uang, menyogok hakim atau pegawai MK. Ini seharusnya tidak boleh terjadi,” jelasnya.
Akil mengatakan, peradilan dan proses hukum di MK seharusnya bisa dijaga, dan harus steril dari segala hal yang tidak benar, misalnya suap atau sogok. ”Keputusan MK itu kan sifatnya final. Tidak ada upaya hukum sesudahnya. Bayangkan jika keputusan hakim yang final dan mengikat itu lahir dari proses sogok atau suap. Bisa hancur negara ini,” tuturnya.
Tentang serangan-serangan pribadi terhadap dirinya, Akil menanggapi dengan santai. ”Saya sudah biasa mendapat serangan seperti itu sejak lama, sejak zaman orde baru,” kata Akil.
Dijelaskannya, orang sering salah menilainya secara pribadi. ”Mungkin karena orang melihat saya mantan politisi, mantan anggota DPR yang flamboyan. Tapi jika saya orangnya tidak baik, pastinya saya tidak akan berada di Jl Medan Merdeka Barat (Gedung MK, Red) ini. Saya akan berada di Kuningan, di tahanan KPK,” ujarnya.
Dan ternyata kini, ayah dua anak itu seakan termakan omongannya sendiri. Akil terjerat dalam kasus dugaan suap dalam kapasitasnya sebagai hakim MK dan Ketua MK. Akil pun kini benar-benar harus merasakan bagaimana dinginnya ruang tahanan di gedung KPK.
Kutipan berita di atas menyiratkan dan menyuratkan kegigihan, prestasi, keuletan seorang Akil Mochtar, serta kesadarannya tentang bahaya korupsi. Akan tetapi, ketika bukti-bukti sudah terlihat, dan KPK telah bertindak, maka ternyata, gema prestasi, tekad, dan gairah untuk menolak segala macam bentuk korupsi, tak kuasa lagi untuk tetap mengelakkan diri dari pembuktian dari adanya dugaan kasus korupsi. Dan Akil Mochtar, sang
doktor yang telah memperjuangkan
skripsi, tesis, dan disertasinya selama ini di Universitas Panca Bhakti POntianak (S1 Ilmu Hukum) dan Universitas Padjajaran Bandung (S2 dan S3) harus luruh runtuh dalam dakwaan dan jeratan hukum akibat tindak pidana korupsi. Lantas,
apa yang salah dari ibu pertiwi, sehingga harus dikhianati anak negeri???
|
google.com |
No comments:
Post a Comment