Surabaya, CocoNotes - Gerakan entrepreneurship memang lagi digalakkan di Indonesia. Kelahiran entrepreneur-entrepreneur yang handal masih diharapkan, karena selama ini telah terlanjur menjadi kebiasaan dalam masyarakat untuk melahirkan buruh, pekerja, pegawai, karyawan. Sudah menjadi tradisi bagi bangsa ini selama bertahun-tahun untuk melahirkan buruh, pekerja, pegawai, karyawan, dan ini bukan tradisi yang buuk, karena tidak musykil bahwa kehadiran mereka juga dibutuhkan. Sayangnya, tidak pernah terpikirkan, akibat kelahiran yang tidak terencana tersebut akhirnya menimbulkan permasalahan terkait pengangguran akibat melonjaknya angka kelahiran angkatan kerja yang berlebihan. Dan, pada akhirnya, angkatan kerja itu harus diekspor dengan harga yang murah dan dalam kemasan yang amburadul sebagai Tenaga Kerja Indonesia (TKI) dan kaum wanitanya diberi brand name Tenaga Kerja Wanita (TKW). Produk ekspor berupa angkatan kerja TKI/TKW ini pada akhirnya juga bukan mnjadi solusi dari tingginya tingkat angkatan kerja di Indonesia, karena tragedi terkait aktivitas ekspor produk dan brand yang satu ini terus berlangsung tanpa tahu entah sampai di mana ujungnya.....
Selain diekspor ke luar negeri dengan kemasan yang masih memprihatinkan, penggunaan angkatan kerja untuk produksi dalam negeri juga masih sangat memprihatinkan. Harga pasar mereka cenderung rendah, dan bahkan sengaja direndahkan. Oleh karena itu banyak pemodal asing yang senang menanamkan modal mereka di Indonesia, karena biaya produksi yang masih murah, sehingga bisa dijual di luar negeri dengan harga yang lebih mahal, dengan sedikit polesan dari skill di sana. Mulai dari harga bahan baku yang melimpah ruah, proses produksi yang masih dijalankan secara manual oleh angkatan kerja dalam negeri yang di'hargai' murah pula.
Fakta tersebut akhirnya membuka mata dan telinga, serta hati bangsa ini, bahwa sudah saatnya untuk melahirkan jiwa-jiwa wirausaha di Indonesia, agar bisa mengangkat nilai dan harga bangsa ini melalui peningkatan penghargaan terhadap angkatan kerja yang terlanjur telah dilahirkan dalam jumlah yang membludak. Namun, melahirkan jiwa wirausaha juga bukan hal yang mudah, karena tidak semua orang bisa menjadi wirausaha. Bahkan ketika sudah dikeluarkan wacana di dunia pendidikan untuk mengarahkan para mahasiswanya untuk mnjadi wirausaha sekalipun. Sebagaimana yang telah dilakukan oleh sedikit dari banyak Perguruan Tinggi di Indonesia dengan memposisikan diri sebagai universitas pencetak generasi wirausaha.
Lahir-Sekolah-Lulus-Mencari Kerja-Menjadi Pekerja
Stereotype lingkungan masyarakat telah membentuk perjalanan hidup anak-anaknya, bahwa mereka dilahirkan, disekolahkan, diluluskan, dan setelah lulus dipekerjakan. Stereotype yang terbentuk dalam benak selama bertahun-tahun pada bangsa ini yang belum menyadarkan diri dan hati mengapa harga mereka murah, yang dibuktikan dengan rendahnya upah mereka. Karena menjadi wirausaha juga bukan hal yang murah dan mudah. Sedangka mreka bisa bekerja karena adanya sosok wirausaha yang mempekerjakan mereka.
Berselingkuh dan Berdemo
Dan ketika mereka sadar dengan rendahnya upah mereka, maka mereka pun berdemo untuk berupaya meningkatkan upahnya, atau berselingkuh untuk mendapatkan upah tambahan, dan bahkan mempraktikkan korupsi kecil-kecilan???. Perselingkuhan yang dilakukan sebagai bentuk ditemukannya ketidakadilan dengan cara yang tidak wajar dan tidak imbang dalam pola pikir sebagai pekerja.
Bisik-bisik, kasak-kusuk, propaganda, dan desas-desus yang memanas akibat penemuan ketidakadilan secara tidak imbang antara pemikiran dan kenyataan.
Mereka menghitung-hitung besaran upah yang diterima dengan nilai produk yang dihasilkan. Nilai produk yang jutaan, milyaran, triliunan yang dihasilkan oleh perusahaan tempat mereka bekerja diperbandingkan dengan nilai upah yang hanya sekian ratus ribu atau sekian juta rupiah per bulan. Sambil membayangkan tingginya tingkat kebutuhan hidup, anak, isteri, dan tanggungan-tanggungan kehidupan lain, akhirnya mereka berbisik-bisik dalam gusar dan gundah satu sama lain:
"Wuih, enakan kerja sendiri yuk, masak iya, perusahaan ini tidak adil, omzetnya per produk saja sedemikian besar, tetapi gaji/upah kita cuman segini."
Gusaran dan keluhan yang tidak memikirkan, bagaimana seorang wirausaha memulai bisnisnya, mempertahankan kehidupan dan perjalanan bisnisnya, memikirkan bagaimana harus menambah modal agar bisnis tetap bisa berjalan, dan memutar otak agar nilai omzet yang sekian ratus juta, miliar dan triliun itu bisa digunakan untuk memutar aktivitas produksi yang dijalankan sekian banyak orang. Dan ... gusaran yang tidak imbang dalam pola pikir, karena mereka tidak memikirkan bagaimana mereka bisa mendapatkan pekerjaan dan tidak menjadi bagian dari statistik dalam angka pengangguran di Indonesia....
Image: http://careers.queensu.ca |
Karena wirausaha itu, seperti menanam sebutir biji yang akan tumbuh tunas, memelihara agar tunas itu tumbuh besar dan subur, sehingga menghasilkan buah yang tidak hanya dinikmati oleh penanamnya, tetapi juga oleh orang di sekitarnya, bahkan oleh orang lain yang nun jauh dari mana asalnya, untuk hanya sekedar berteduh, menikmati manfaat keteduhan dan kerimbunan daun dan rantingnya, harum dan segarnya udaya dari daun dan bunga, aroma buah, dan nikmat buahnya ....
Dan bahkan binatangpun bisa mengambil manfaat daripadanya ...................
No comments:
Post a Comment