Surabaya, CocoNotes – Seorang ibu, yang kebetulan berprofesi sebagai dosen, lulusan program doktoral, bersama putrinya yang sudah mahasiswa, dan sudah mau lulus, karena saat itu tengah proses penyusunan proposal skripsi (tugas akhir berupa tulisan ilmiah yang harus dipenuhi oleh mahasiswa menjelang kelulusannya).
“Sebenarnya saya juga S3, saya barusan menyelesaikan disertasi saya,” cerita sang ibu. Aku hanya turut mendengarkan pembicaraan ibu tersebut (mungkin bisa dibilang 'menguping').
“Tapi, jurusannya dia kan beda, dia ngambil bahasa Indonesia, la saya ini dosen akuntansi. Jadi ya nggak bisa bantu dia lah. Kan ya beda jurusan.” Lanjut sang ibu.
Dan sepanjang pembicaraan tersebut, kulihat sang putri yang terlihat cantik itu sama sekali tidak m emiliki kesempatan berbicara. Hanya mengangguk dan mengiyakan apa kata mama. Ya Tuhan, apakah seorang gadis memang harus dididik untuk mengangguk dan mengiyakan?
Apakah benar, ibu tidak bisa lagi mengarahkan sang putri untuk melanjutkan pekerjaannya? Bukankah sang ibu hanya berperan mendampingi dan memberi semangat kepada sang putri dengan memberi sang putri waktu untuk berpikir dan berkreasi?
Tapi apa kata sang ibu?
“Kalau tidak selesai-selesai, ini nanti aku ditegur sama papanya. Soalnya saya ini kan dosen, saya juga menjalankan bisnis keluarga. Dan yang menjalankan bisnis itu saya. Kalau papanya itu kan cuma bantu-bantu saja di sana.”
Dieng... gubraghh ...
Begitulah.
Dengan tanpa bermaksud memojokkan sebuah profesi, karena semua ini hanya kebetulan.
Hal sama kulihat seorang mahasiswa yang bingung menentukan pilhan dalam peyelesaian tugas akhirnya. Kalau yang ini papanya adalah PNS dengan posisi yang lumayan, sehingga sanggup mendukung apapun data yang dibutuhkan sang anak; dan ibunya juga bekerja. Si anak terlihat tidak bisa (tidak berani) mengungkapkan apa yang dia mau terkait tugas akhirnya. Sementara papa dan mamanya yang mengoceh ke sana ke mari mengenai apa kemauan mereka terkait penyelesaian kuliah si anak. Padahal si anak adalah anak laki-laki yangs eharusnya didik untuk tegas, berani, kreatif, inovatif, sehingga mampu menjalankan fungsi kekhalifahannya kelak.
Dan hal serupa sering kujumpai ... .
Hal yang membuat hatiku bertanya-tanya, apa sebenarnya yang dimaui orangtua terhadap putra-putrinya yang notabene adalah mahasiswa. Yang notabene juga adalah calon penerus kepemimpinan bangsa ini, sehingga kehidupan kebangsaan bisa tetap berlangsung langgeng. Lantas, apa pula sebenarnya yang terjadi terhadap mereka. Salahkah bunda mengandung? Salahkah ayah menanamkan benih? Salahkah proses pengasuhan yang diterapkan oleh ayah dan bunda, sehingga putra dan putri yang terlahir harus mendapatkan posisi mengangguk dan mengiyakan? Apakah semua itu bentuk bakti anak kepada orangtua?
Just for reviewing and instropecting ...
Hal yang membuat hatiku bertanya-tanya, apa sebenarnya yang dimaui orangtua terhadap putra-putrinya yang notabene adalah mahasiswa. Yang notabene juga adalah calon penerus kepemimpinan bangsa ini, sehingga kehidupan kebangsaan bisa tetap berlangsung langgeng. Lantas, apa pula sebenarnya yang terjadi terhadap mereka. Salahkah bunda mengandung? Salahkah ayah menanamkan benih? Salahkah proses pengasuhan yang diterapkan oleh ayah dan bunda, sehingga putra dan putri yang terlahir harus mendapatkan posisi mengangguk dan mengiyakan? Apakah semua itu bentuk bakti anak kepada orangtua?
Just for reviewing and instropecting ...
Tapi, kalau melihat banyak anak-anak kecil di televisi yang berbakat, kenes, dan lincah, terbersit juga harapan bahwa masih banyak bintang terang yang bersinar untuk lingkungannya. Karena bisa jadi yang terlihat olehku adalah hanya segelintir pemuda dan pemudi yang kebetulan memiliki kelebihan khusus, sehingga harus diperlakukan istiewa oleh kedua orangtuanya, sehingga sang mama dan sang papa harus turun gunung untuk 'menitah' sang putra dan putri untuk menapak langkah-langkah mereka menuju masa depan.
No comments:
Post a Comment