Pic. Bertebaran di BB profile |
Surabaya, CocoNotes - Pemilihan presiden a k a pilpres 2014 yang hanya
meluncurkan dua pasang kandidat seolah merupakan ajang grand final piala
dunia ataupun kontes kecantikan. Seru, menegangkan, dan membuat
pemirsa/masyarakat pendukung finalis geregetan.
Terlebih, seusai pencoblosan, beberapa lembaga survei meluncurkan hasil penghitungan cepat (quick count) dengan hasil yang berbeda-beda. Di mana, hasil quick count tersebut langsung disambut dengan gemuruh kemenangan oleh para capres-cawapres yang memperoleh jumlah keterpilihan lebih tinggi. Bahkan sampai-sampai langsung diselenggarakan deklarasi kemenangan sampai ada yang nangis-nangis.
Namun demikian, dengan hanya dua pasang Capres-Cawapres, dan banyaknya lembaga survei yang melakukan quick count, maka hasil quick count yang dihasilkan juga berbeda. Dampaknya, kedua kubu mendeklarasikan kemenangan masing-masing. Dan tuduh menuduh terhadap kredibilitas lembaga survei pun dipersoalkan hingga menjadi debat kusir di wilayah pengguna akhir. Dan, ramailah media dan social media dengan saling memojokkan antar kubu.
Terlebih, seusai pencoblosan, beberapa lembaga survei meluncurkan hasil penghitungan cepat (quick count) dengan hasil yang berbeda-beda. Di mana, hasil quick count tersebut langsung disambut dengan gemuruh kemenangan oleh para capres-cawapres yang memperoleh jumlah keterpilihan lebih tinggi. Bahkan sampai-sampai langsung diselenggarakan deklarasi kemenangan sampai ada yang nangis-nangis.
Namun demikian, dengan hanya dua pasang Capres-Cawapres, dan banyaknya lembaga survei yang melakukan quick count, maka hasil quick count yang dihasilkan juga berbeda. Dampaknya, kedua kubu mendeklarasikan kemenangan masing-masing. Dan tuduh menuduh terhadap kredibilitas lembaga survei pun dipersoalkan hingga menjadi debat kusir di wilayah pengguna akhir. Dan, ramailah media dan social media dengan saling memojokkan antar kubu.
Mengapa sampai terjadi perbedaan hasil quick count? Jika ditinjau secara metodologi statistik a k a
metode penelitian, perbedaan ini bukan disebabkan oleh adanya
keberpihakan semata, tetapi oleh teknik sampling yang digunakan.
Dalam ilmu statistik, teknik pengambilan sampel meliputi dua jenis, yaitu probability sampling dan nonprobability sampling. Nonprobability sampling, artinya tidak semua sampel memiliki peluang untuk menjadi sampel. Hanya sampel yang memiliki kriteria tertentu yang dapat dijadikan sebagai sampel.
Sementara itu, probability sampling, artinya semua sampel memiliki peluang untuk dijadikan sebagai sampel. Dalam tipe probability sampling, ada yang teknik pengambilan sampel secara simple random sampling (acak sederhana), ada juga yang diacak dengan jumlah proporsional.
Teknik sampling inilah yang akhirnya membedakan hasil quick count pemilihan presiden 2014 pada masing-masing lembaga survei. Terutama ketika lembaga survei memilih sistem acak sederhana, yang dapat berdampak pada menggerombolnya sampel hanya pada wilayah tertentu. Sementara, bagi yang memilih sistem acak proporsional, hasilnya tentu akan juga berbeda lagi, karena unit sampel yang dipilih juga berbeda.
Yang paling menohok, adalah ketika lembaga survei menggunakan sistem nonprobability sampling. Di sini, hanya sampel dengan kriteria tertentu yang akan dipilih. Nah, perbedaan kriteria yang mencolok pastinya akan sangat mempengaruhi hasil survei yang berbeda.
Penentuan jumlah sampel itu sendiri dilakukan dengan menggunakan perhitungan atau formulasi tertentu, Slovin atau Yamane misalnya, atau proporsi populasi, sehingga jumlah sampel yang diambil benar-benar mewakili populasi (representatif). Dalam penelitian ilmiah saja, marjin yang ditolelir secara umum lima persen (5%), dan sangat jarang yang menolelir marjin 10%.
Dalam quick count itu sendiri, sebagai sebuah bentuk hitungan cepat, maka yang dilakukan oleh lembaga survei tersebut juga berdasarkan laporan cepat dari Tempat Pemungutan Suara (TPS) yang diterima oleh masing-masing lembaga survei, sehingga hasilnya pun menjadi berbeda. Apalagi, sungguh luasnya jangkauan nusantara, dengan kadar kecepatan internet (jaringan online) yang dikategorikan lemot, serta dukungan perangkat lunak (software) yang belum mumpuni baik dari sisi perangkatnya maupun sumberdaya manusianya. Dengan demikian, TPS, sebagai unit sampel, yang masuk dalam olahan lembaga survei juga berbeda, sehingga hasil hitungannya juga akan berbeda.
So, be smart guys. Jangan terburu-buru saling menuduh adanya kecurangan oleh pihak-pihak tertentu. Be positive thinking a k a khusnudhon pada sesama saudara. Bagaimanapun Capres-Cawapres yang menjadi kandidat saat ini adalah manusia pilihan. Bukankah tidak semua orang memiliki kesempatan untuk maju di tingkatan wilayah tersebut?
Dan, akhirnya, menjadi masyarakat cerdas, rasional, dan berkarakter adalah pilihan untuk tetap tenang dalam berkehidupan masyarakat. Terlebih dalam menghadapi media massa kini yang tidak bebas dari konstruksi realitas pesanan ....
Dalam ilmu statistik, teknik pengambilan sampel meliputi dua jenis, yaitu probability sampling dan nonprobability sampling. Nonprobability sampling, artinya tidak semua sampel memiliki peluang untuk menjadi sampel. Hanya sampel yang memiliki kriteria tertentu yang dapat dijadikan sebagai sampel.
Sementara itu, probability sampling, artinya semua sampel memiliki peluang untuk dijadikan sebagai sampel. Dalam tipe probability sampling, ada yang teknik pengambilan sampel secara simple random sampling (acak sederhana), ada juga yang diacak dengan jumlah proporsional.
Teknik sampling inilah yang akhirnya membedakan hasil quick count pemilihan presiden 2014 pada masing-masing lembaga survei. Terutama ketika lembaga survei memilih sistem acak sederhana, yang dapat berdampak pada menggerombolnya sampel hanya pada wilayah tertentu. Sementara, bagi yang memilih sistem acak proporsional, hasilnya tentu akan juga berbeda lagi, karena unit sampel yang dipilih juga berbeda.
Yang paling menohok, adalah ketika lembaga survei menggunakan sistem nonprobability sampling. Di sini, hanya sampel dengan kriteria tertentu yang akan dipilih. Nah, perbedaan kriteria yang mencolok pastinya akan sangat mempengaruhi hasil survei yang berbeda.
Penentuan jumlah sampel itu sendiri dilakukan dengan menggunakan perhitungan atau formulasi tertentu, Slovin atau Yamane misalnya, atau proporsi populasi, sehingga jumlah sampel yang diambil benar-benar mewakili populasi (representatif). Dalam penelitian ilmiah saja, marjin yang ditolelir secara umum lima persen (5%), dan sangat jarang yang menolelir marjin 10%.
Dalam quick count itu sendiri, sebagai sebuah bentuk hitungan cepat, maka yang dilakukan oleh lembaga survei tersebut juga berdasarkan laporan cepat dari Tempat Pemungutan Suara (TPS) yang diterima oleh masing-masing lembaga survei, sehingga hasilnya pun menjadi berbeda. Apalagi, sungguh luasnya jangkauan nusantara, dengan kadar kecepatan internet (jaringan online) yang dikategorikan lemot, serta dukungan perangkat lunak (software) yang belum mumpuni baik dari sisi perangkatnya maupun sumberdaya manusianya. Dengan demikian, TPS, sebagai unit sampel, yang masuk dalam olahan lembaga survei juga berbeda, sehingga hasil hitungannya juga akan berbeda.
So, be smart guys. Jangan terburu-buru saling menuduh adanya kecurangan oleh pihak-pihak tertentu. Be positive thinking a k a khusnudhon pada sesama saudara. Bagaimanapun Capres-Cawapres yang menjadi kandidat saat ini adalah manusia pilihan. Bukankah tidak semua orang memiliki kesempatan untuk maju di tingkatan wilayah tersebut?
Dan, akhirnya, menjadi masyarakat cerdas, rasional, dan berkarakter adalah pilihan untuk tetap tenang dalam berkehidupan masyarakat. Terlebih dalam menghadapi media massa kini yang tidak bebas dari konstruksi realitas pesanan ....
No comments:
Post a Comment