Beli Roti atau Beli Apartemen Bos? Rame Banget

Surabaya, CocoNotes - Padatnya pengunjung event pemilihan unit Westown View yang diselenggarakan di Grand City Ballroom Level 4 dan Diamond...

Rental Surabaya

November 26, 2012

Ketika UMR Dinaikkan = Peningkatan Kesejahteraan Karyawan?

Kenaikan UMR
Sumber gambar: pewresearch.org
Upaya buruh yang dilakukan untuk meningkatkan kesejahteraan melalui demo buruh dengan alasan rendahnya nilai upah minimum regional berbuah dikeluarkannya kebijakan peningkatan upah minimum regional di banyak wilayah di Indonesia. Di DKI Jakarta, misalnya, Upah Minimum telah dinaikkan sebesar Rp. 2,2 juta rupiah. Dikeluarkannya kebijakan UMR di wilayah Jakarta oleh Gubernur DKI Jakarta yang baru, Jokowi, ini tentu semakin memicu semangat buruh di wilayah lain untuk melanjutkan aksinya untuk menuntut peningkatan kesekahteraan karyawan melalui peningkatan UMR di tiap provinsi. 
Sebenarnya, ketika UMR dinaikkan maka yang terjadi adalah naiknya juga harga barang-barang, sehingga seolah akan terjadi efek yang sama terhadap buruh. Intinya, ketika pendapatan buruh naik, harga barang juga akan naik, sehingga untuk menutup belanja rumah tangga juga akan tetap sama. Bukankah kenaikan UMR akan berdampak pada kenaikan biaya pokok produksi, dan berdampak pada harga pokok penjualan? Nah, pada akhirnya juga akan berdampak pada peningkatan harga jual kan? Kecuali jika perusahaan harus melakukan efisiensi di sektor pengeluaran lainnya. Di sini tentunya pihak manajemen harus secara terus menerus melakukan upaya untuk menentukan strategi perusahaan yang setepat mungkin agar bisa melakukan efisiensi biaya, tenaga, bahan baku, dan input lainnya yang diperlukan dalam aktivitas operasional perusahaan, karena jika tidak, maka perusahaan tidak akan bisa mencapai efektivitas dan produktivitas, serta pofitabilitas. 
Nah, saat melakukan efisiensi ini, tidak dipungkiri juga, perusahaan juga akan melakukan efisiensi tenaga kerja kan, ya istilahnya perampingan lah, melalui Pemutusan Hubungan Kerja (PHK). Di mana PHK ini bisa juga dilakukan karena perusahaan bangkrut, karena tidak mampu mengantisipasi kenaikan UMR? -- Naiknya UMR sampai 50% itu bukan hal kecil lo? Bukankah pemerintah juga menerapkan kebijakan perampingan jumlah pegawai negeri sipil melalui Surat Keputusan Bersama (SKB) tiga Menteri mengenai Moratorium Pegawai Negeri Sipil pada tahun 2012, dengan alasan untuk efisiensi, karena anggaran untuk gaji pegawai negeri sipil (PNS) yang makin menggelembung? --- sekedar diketahui, pada tahun 2012, pemerintah menetapkan implementasi moratorium perekrutan pegawai negeri sipil untuk melakukan penghentian sementara perekrutan pegawai negeri sipil di bidang kelembagaan (selain tenaga guru dan tenaga kesehatan).
Lantas, apakah perusahaan tidak perlu meningkatkan UMR? Tentu saja, ketika pemerintah telah 'ketok palu' atas kebijakan kenaikan UMR maka perusahaan sebagai warga negara yang baik harus mematuhinya. Hanya saja memang harus dipikirkan juga dampaknya. Bukankah pengusaha adalah seorang dengan karakter spesifik yang berjiwa enterpreneur (berjiwa wirausaha), di mana seribu akal bisa dilakukan demi memperoleh profit yang tinggi? Berbicara terkait profit yang tinggi, maka kaitannya adalah dengan besarnya jumlah pajak yang harus dibayarkan oleh pengusaha terhadap pemerintah. Bukankah semakin tinggi laba operasional perusahaan maka makin tinggi pula pajak yang bisa dibayarkan kepada pemerintah, di mana pajak itu digunakan oleh pemerintah untuk kemakmuran rakyat. Nah, andai pajak itu tidak dikorupsi, maka ketika UMR tidak dinaikkan pun rakyat akan tetap makmur dong.
Sumber gambar: trippingontheladder.com
Nah lo, ketika UMR dinaikkan pun, masih ada hal lain yang harus diperhatikan, karena dalam hidup bermasyarakat ini semua saling terkait, dan ternyata masih ada kaitannya dengan korupsi.

November 16, 2012

Ketika Indonesia 'Merasa' Kekurangan Doktor

penyandang gelar doktor Indonesia
Sumber gambar: tribeclaritylivin.com
Secara kuantitas, jika dibandingkan dengan negara berpenduduk besar lainnya, jumlah penyandang gelar Doktor di Indonesia masih sedikit.  Pada tahun 2011, penyandang gelar Doktor di Indonesia masih sebanyak 23.000 orang dari total jumlah penduduk Indonesia yang mencapai 230 juta jiwa. Jumlah tersebut jauh di bawah negara-negara yang berpenduduk besar lainnya seperti India, China, dan Amerika Serikat, di mana jumlah doktor di Amerika Serikat mencapai 3,1 juta orang dan India sebanyak 1,69 juta orang (Solopos). Pada tahun 2012, jumlah penyandang gelar doktor di Indonesia mencapai 25.000 orang dan tengah ditargetkan untuk mencapai 100.000 doktor pada tahun 2015 (Kompas). Upaya yang dilakukan pemerintah untuk mencapai target tersebut adalah melalui pemberian beasiswa pendidikan pada mahasiswa setingkat S2 dan S3. 
Yupps, meskipun gelar doktor atau Ph.D merupakan gelar yang disandang oleh individu yang telah menyelesaikan program S3, namun upaya peningkatan gelar Doktor tersebut harus didukung dengan peningkatan penyandang gelar Magister dulu bukan? Maka dari itu, program beasiswa pun disampaikan juga kepada mahasiswa S2, untuk mempercepat peningkatan jumlah penyandang gelar doktor di Indonesia. Nah, seberapa penting sih peningkatan jumlah penyandang gelar doktor di Indonesia? Penyandang gelar ini merupakan individu yang mampu mendukung riset yang menghasilkan banyak jurnal ilmiah dan paten, sehingga akan menghasilkan inovasi yang bisa mendukung kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang diperlukan dunia industri dan berbagai bidang lain. Selain itu, menurut Musliar Kasim, Wakil Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Bidang Pendidikan Republik Indonesia, bertambahnya jumlah doktor di perguruan tinggi menjadi salah satu parameter kredibilitas lembaga pendidikan tinggi (Serambinews). Dengan tingkat pendidikan yang tinggi maka proses pembangunan bisa dilakukan dengan baik yang akan mendorong Indonesia untuk berkembang dan maju di tingkat internasional.
Memang sih, di tingkat internasional, nilai Indeks Pengembangan Sumberdaya Manusia (Human Developmen Indices – HDI) negara Indonesia masih tergolong rendah. Pada tahun 2011, nilai HDI Indonesia masih berada pada kategori medium, yaitu sebesar 0,617, yang mendapatkan posisi pada peringkat 124 dari 187 negara. Peringkat ini mengalami kenaikan satu peringkat jika dibandingkan tahun 2010 yang memperoleh peringkat 125 dari 187 negara (United Nation Development Programe, 2011. Indonesia: HDI Values and Rank Changes in the 2011 Human Development Report). Pastinya, posisi ini jauh di bawah negara-negara lain termasuk China dan Thailand.
Nah, sebagai salah satu upaya untuk meningkatkan kualitas sumberdaya manusianya tersebut, maka Indonesia pun menggenjot peningkatan jumlah doktor di Indonesia. Dengan asumsi bahwa makin banyak penyandang gelar doktor, maka makin banyak pula individu yang memiliki kompetensi keilmuannya untuk menghasilkan inovasi dan kreatvitas yang membangun, sehingga pemberdayaan sumberdaya alam lebih eksploratif aktif dan konstruktif. Dengan tanpa mengabaikan pemberian beasiswa kepada para mahasiswa S2 dan S3, yang notabene adalah para pemegang jabatan tertentu di instansi pemerintahan maupun para staf di lembaga tertentu, adakah beasiswa ini menjadi efektif dan benar-benar mampu menghasilkan penyandang gelar doktor yang mumpuni, kreatif, dan inoatif, serta konstruktif aktif? Karena dengan beban pekerjaan yang harus ditangani di kantor, calon penyandang gelar magister dan doktor ini juga dituntut untuk menyelesaikan tugas-tugas kuliah dengan materi yang tidak ringan, mulai dari pemahamn teori, konsep, dan menyusun interdependensi antar teori dan konsep, serta aplikasinya di lingkungan nyata.
Saya jadi teringat dengan beberapa calon Magister dan Calon Doktor yang tugas-tugas kuliahnya dikerjakan oleh Joki Tugas, semenjak awal pendaftaran kuliah sampai penyusunan tesis dan disertasinya. Mulai penemuan ide terkait tesis dan disertasinya, penggalian konsep, penggalian tinjauan literatur, penentuan metode, pengembangan teori, hingga penyusunan laporan tesis dan disertasi telah diserahkan kepada Joki Tugas dengan imbal jasa sampai puluhan juta rupiah.
Apa alasan mereka? kesibukan kerja, pertambahan usia, kesulitan penemuan ide, menderita penyakit tertentu karena sudah tua sehingga tidak mampu berpikir lebih keras dan bekerja di bawah tekanan.......
Nah, lantas apatah sudah ada evaluasi dari pemerintah mengenai kemungkinan kurang efektifnya pemberian beasiswa pendidikan tersebut dan kurang bermaknanya penambahan jumlah doktor di Indonesia untuk menghasilkan pribadi-pribadi yang inovatif, kreatif dengan kemampuan eksploratif aktif yang konstruktif....

November 13, 2012

Milkuat Susu Botol Tiger, Pilihan Bekal Sekolah Sehat dan Praktis

Menyiapkan bekal sekolah setiap hari memang merupakan hal yang sebenarnya sederhana, tetapi memerlukan kreativitas, agar bekal tidak membosankan bagi anak dan penyiapannya tidak merepotkan bagi ibu. Apalagi jika ada lima anak yang harus dipersiapkan bekal sekolahnya. Memang sih, sejak si Sulung masuk SMK dan si nomor Dua duduk di bangku SMP, keduanya sudah tidak lagi membawa bekal makanan ke sekolah. Tetapi untuk anak-anak yang masih duduk di Taman kanak-kanak (si Bungsu, 5 tahun) dan di Sekolah Dasar (si nomor Tiga, 9 tahun; dan si nomor Empat, 8 tahun), masih saya biasakan untuk membawa bekal sekolah agar tidak jajan sembarangan. 
Agar anak-anak tidak bosan, mereka saya beri kebebasan untuk memilih bekal makanan dan minuman yang akan dibawa ke sekolah. Mengapa saya beri kebebasan? Karena makanan dan minuman tersebut adalah untuk dikonsumsi oleh mereka, jadi mereka yang harus menentukan sendiri jenis makanan dan minuman yang akan dibawa ke sekolah, sehingga bekal tersebut sesuai dengan selera mereka. Tentu saja dalam kebebasan tersebut, saya tetap memberi pengertian mana yang boleh dan mana yang tidak, karena bagaimanapun bekal sekolah tersebut harus tetap memenuhi unsur gizi dan kesehatan anak. 
Karena mereka boleh memilih bekal makanan dan minuman mereka sendiri, kadang-kadang mereka meminta bekal nasi, sayur, dan lauk. Lain waktu, mereka hanya meminta bekal makanan kecil, kue, atau roti. Demikian pula untuk minumannya, mereka akan memilih jenis minuman yang diinginkan, yang satu ingin bekal teh, air putih, susu, maupun jenis minuman lainnya. Untuk minuman susu, anak-anak juga saya beri kebebasan untuk memilih jenis susu yang diinginkan. Si Bungsu suka rasa strawberry, sedangkan si nomor tiga dan empat suka rasa cokelat. 
Susu Milkuat Botol Tiger  Rasa Cokelat dan Strawberry dipilih untuk Bekal Sekolah
Oleh karena itu, untuk kepraktisan, saya memilih susu cair dalam kemasan sekali minum. Nah, namanya anak-anak, selain pilihan rasa, maka kemasan juga menjadi alasan memilih produk susu. Saat membeli susu di minimarket yang berada di sebelah rumah, si Bungsu menunjukkan tangannya ke arah rak yang berisi deretan susu Milkuat Botol Tiger. Saking hafalnya dengan selera kakak-kakaknya, si Bungsu pun langsung mengambil susu Milkuat Botol Tiger yang rasa cokelat untuk kakak-kakak dan strawberry untuk dirinya. Ternyata ketiganya menyukai kemasan susu Milkuat Botol Tiger dan sepakat untuk tidak membuang botol bekas susu tersebut, karena mereka akan menggunakan botolnya untuk mainan nanti sepulang sekolah. Ya, ternyata bentuk botol tiger tersebut memberi inspirasi bagi anak-anak untuk menjadikannya mainan. Saya hanya mengingatkan agar botol-botol yang dikumpulkan tersebut dicuci bersih sebelum digunakan untuk mainan agar aman dan bersih saat digunakan sebagai mainan. 

Bentuk Botol Unik Menjadi Inspirasi si Kecil untuk Menjadikannya Mainan
Kandungan Gizi Milkuat
Nah, dari pengalaman saya tersebut bisa disimpulkan bahwa selain menyediakan kandungan gizi yang disesuaikan dengan masa pertumbuhan anak-anak, karena mengandung kalsium, fosfor, vitamin B1, B3, B5, B6, A, D, dan ekstra zat besi dan zink; susu Milkuat Botol Tiger juga memberi pilihan rasa cokelat dan strawberry, sehingga anak-anak lebih leluasa memilih minum susu sesuai selera; serta memberikan inspirasi bagi anak untuk lebih kreatif dan cerdas dalam memanfaatkan botol bekasnya. Dan yang terakhir, susu Milkuat Botol Tiger juga praktis dan sehat untuk bekal sekolah anak-anak.





November 11, 2012

Profesi Guru, antara Pengabdian dan Perut

Sumber gambar: maranausd.org
Kita jadi bisa menulis dan membaca karena siapa?
Kita jadi tahu beraneka bidang ilmu karena siapa?
Kita jadi bisa dibimbing bu guru
Kita jadi tahu dibimbing pak guru
Guru bak pelita penerang dalam gulita,
Jasamu tiada tara....

Sungguh jasa guru tidak bisa dibilang dengan materi, tidak bisa diungkap dengan indahnya untaian mutiara kata, karena memang jasanya tiada tara. Jasa yang hadir karena pengabdian yang tulus dengan kemurnian dan keikhlasan profesi. Guru bukan sekedar pekerjaan, tetapi profesi. Menurut Doni Koesoema (2007, Pendidikan Karakter, Jakarta: PT Gramedia Widyasarana Indonesia, p:166), dijelaskan bahwa profesi merupakan “pekerjaan, dapat juga berwujud sebagai jabatan di dalam suatu hierarki birokrasi, yang menuntut keahlian tertentu serta memiliki etika khusus untuk jabatan tersebut serta pelayanan baku terhadap masyarakat.” Jacobus Tarigan (2007, Religiusitas, Agama dan Gereja Katolik, Jakarta: PT Gramedia Widyasarana Indonesia, p:117) menjelaskan bahwa, profesi merupakan tugas yang diberikan dan diterima dalam rangka hidup di tengah masyarakat majemuk. Profesi menuntut pendidikan dan keterampilan yang amat tinggi serta spesialisasi yang tajam. Dituntut tanggung jawab dan komitmen. Profesi mengabdi masyarakat yang luas. Kadangkala harus diawali semacam sumpah jabatan.
Di dalam definisi profesi tersebut ada dua hal penting bagi penyandangnya, yaitu Etika dan Pengabdian.
Saya jadi ingat guru SMA saya sekaligus wali kelas semasa kelas III, Bapak Muhammad Fatih, yang selalu hadir di sekolah in time, bukan on time, dan kemudian menyatakan kepada kami para murid yang kadang masih ada yang terlambat:
"Rumah saya yang di Sidayu saja bisa datang sepagi ini, saya harus bersepeda dan melintasi jalan yang lebih jauh daripada kalian."
"Ya, Bapak, itu kan bentuk pengabdian Bapak sebagai guru,"
Dan kemudian beliau menjawab,
"Pengabdian itu di sini (#sambil memegang dada), bukan di sini (#sambil memegang perut),"
Dan, kami sekelas masih hanya tersenyum saja tanpa membahasnya lebih jauh. Saat ini saya teringat lagi dengan ungkapan beliau yang sedemikian disiplin dan tegas terhadap kami, karena kebetulan beliau adalah guru Matematika, yang mengajarkan ketepatan, kecepatan, dan kreativitas kami untuk selalu berproses. Kami sekelas sangat segan dengan beliau, tetapi kami masih bisa bercanda dan saling menyapa dengan beliau. Saat wisata akhir tahun ajaran dan saat perpisahan pun, kami bisa sedemikian akrab dan tidak ada jarak. Kemampuan beliau untuk menjadi GURU dan Orangtua, serta teman sungguh membekas. Dan yang jelas, keteladanannya yang patut dicontoh oleh para guru masa kini. Tidak ada alasan bagi beliau terkait jarak rumah yang jauh dengan kedisiplinan menjadikan kami harus malu jika harus datang terlambat.
Pada masa itu, pengabdian GURU sangat menonjol jika dibandingkan dengan pemenuhan kebutuhan materi. Saat itu, meskipun sekolah kami adalah satu-satunya sekolah menengah atas negeri di Kota Kecamatan, tetapi para guru tinggal di tempat kos yang disediakan oleh warga, sama dengan para siswa-siswinya. Beliau tidak tinggal di rumah dinas yang biasanya disediakan untuk para guru, karena memang di wilayah situ pada masa itu belum ada rumah dinas untuk guru.Bahkan bagi yang telah menikah sekalipun. Yupps, jika diingat kembali, benar-benar beliau-beliau adalah para guru yang ikhlas dalam pengabdiannya untuk menjalankan profesi sebagai guru, sehingga tugas guru dilakukan secara profesional, dengan tujuan mulia, mendidik dan mengajar para siswa dan siswinya agar mereka menjadi putra-putri bangsa yang siap maju membangun bangsa yang beradab, berbudaya, dan berakhlak mulia.
Teringat juga dengan Ibu Hartini, wali kelas SMA saya saat masih kelas satu. Beliau 'mbelani' saya saat saya 'ngadat' tidak mau melanjutkan sekolah. Padahal kenal pun tidak, saudara tidak, tetapi saya sangat merasakan bagaimana upaya beliau dengan kasih sayang, yang menyadarkan saya untuk tetap kembali melanjutkan sekolah, dan memberi kesempatan kepada saya untuk mengikuti ujian akhir untuk kenaikan kelas. Kesempatan ujian yang harus saya jalani sendirian di ruang kantor, karena saya telah tertinggal oleh teman-teman lain yang sudah melaksanakan ujian terlebih dahulu.
Di sini, para guru tersebut tidak semata memberikan pelajaran membaca dan menulis, tetapi memberikan pelajaran hidup untuk selalu bersemangat dan berusaha untuk mencapai cita-cita, serta belajar mengambil solusi yang baik saat menghadapi tantangan hidup. Semua dilakukan tanpa pamrih, bukan hanya mengajar, tetapi mendidik dan membimbing kami semua, anak-anak desa untuk bergerak ke arah yang lebih baik. Dan terbukti, saat reuni di bulan Agustus 2012, setelah 20 tahun kelulusan kami di tahun 1992, teman-teman satu kelas kami telah 'berubah'. Mereka bukan lagi anak-anak desa dengan pakaian seragam lusuh, tas sekolah kumal, muka kusam, berpeluh, dan berjerawat. Banyak di antara mereka yang menjadi guru, kepala sekolah, dosen, tentara, pengusaha, humas (hubungan masyarakat) di sebuah perguruan tinggi, politisi, polisi, dokter, bidan, nelayan, petani, wartawan, pengelola LSM (lembaga Swadaya Masyarakat), pegawai bank, dan ragam profesi lain yang ditekuni teman-teman. Subhanallah.....
Mereka juga bukan lagi anak-anak SMA yang harus berjalan kaki atau mengayuh sepeda pancal (ontel) berkilo-kilo meter jauhnya setiap pagi dan siang, atau harus berdesak-desakan di angkutan desa dengan para pedagang ikan dan pedagang sayur. Mereka telah menjadi pribadi-pribadi dewasa dengan pasangan dan buah hati masing-masing.... dan mobil pribadi, atau setidaknya sepeda motor.
Sungguh, saat itu, saya bisa merasakan bahwa kebutuhan untuk mengabdi melebihi pemenuhan kebutuhan 'perut' adalah wujud profesional guru kami pada masa itu. Bahkan, kondisi para guru pada masa itu sempat digambarkan oleh Iwan Fals melalui lagunya Umar Bakri.
Sekarang pertanyaannga adalah, ketika kesejahteraan guru telah diupayakan untuk dipenuhi secara ideal oleh pemerintah, masih patutkah kiranya jika ada guru masih terus menuntut kesejahteraannya dan mengabaikan profesionalitasnya dalam menjalankan profesi sebagai seorang guru? Karena ternyata, profesi guru itu, tidak hanya mengajar menulis dan membaca, tetapi mendidik, mengarahkan, membimbing anak didiknya agar menjadi pribadi yang dewasa, beradab, berbudaya, handal, dan berakhlak mulia. Sebagaimana yang diajarkan oleh Ki Hajar Dewantara, bahwa guru itu seharusnyalah:
Ing Ngarso Asung Tulodho
Ing Madyo Mbangun Karso
Tut Wuri Handayani
.

November 5, 2012

Asuransi yang Penting bagi yang Belum Menikah

Commonwealth Life Perusahaan Asuransi Jiwa Terbaik Indonesia

Berbagi dulu ah. Pas mau sign in di Yahoo, saya lihat ada headline tentang asuransi yang penting bagi yang belum menikah. Nah, menurut nara sumbernya, Purwanti Wulandari, QM Planner dari www.qmfinancial.com disebutkan beberapa asuransi yang penting bagi yang belum menikah itu meliputi:
  • Asuransi Jiwa. Seseorang membutuhkan asuransi jiwa apabila ia memiliki penghasilan dan juga tanggungan. Hal ini dikarenakan konsep dari asuransi jiwa adalah menggantikan penghasilan yang hilang akibat kematian orang tersebut. Dengan kata lain, asuransi jiwa bermanfaat bagi mereka yang selama ini hidup dari penghasilan kita sehingga masih bisa melanjutkan hidup saat kita telah tiada. Jika masih single dan tidak memiliki tanggungan, asuransi jiwa tidak menjadi prioritas. 
  • Asuransi Kesehatan. Proteksi ini dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan biaya rumah sakit atau biaya ke dokter. Minimal proteksi kesehatan yang perlu dimiliki adalah untuk menanggung biaya rawat inap rumah sakit. Untuk seseorang yang bekerja di perusahaan, biasanya proteksi kesehatan ini didapatkan dari fasilitas kantor sehingga tidak diperlukan asuransi kesehatan tambahan. Akan tetapi, jika tidak di-cover oleh kantor atau manfaatnya belum memadai, kebutuhan akan asuransi kesehatan menjadi prioritas. 
  • Asuransi Penyakit Kritis. Proteksi ini berfungsi untuk memberikan manfaat berupa uang pertanggungan yang dapat digunakan sebagai pengganti sumber pendapatan keluarga apabila tertanggung tidak dapat bekerja akibat terdiagnosa salah satu penyakit kritis. Penyakit kritis adalah penyakit dengan kondisi yang tak dapat disembuhkan, dan kritis. Contohnya: stroke, jantung, gagal ginjal, dan kanker stadium 4. Selain faktor keturunan (genetik), risiko penyakit kritis meningkat akibat gaya hidup tidak sehat. Untuk single, segera cek riwayat kesehatan keluarga dan evaluasi gaya hidup sehingga dapat menentukan apakah memerlukan asuransi penyakit kritis atau tidak. 
  • Asuransi Kecelakaan. Proteksi ini memberikan manfaat uang pertanggungan jika terjadi kondisi cacat akibat kecelakaan sehingga tidak lagi bisa bekerja. Asuransi kecelakaan sangat dianjurkan bagi para single yang memiliki risiko pekerjaan yang rentan terhadap terjadinya kecelakaan sampai mengakibatkan kondisi cacat. Selain risiko pekerjaan tersebut, kegiatan rutin yang memiliki risiko kecelakaan misalnya sering berkendara dan traveling juga menjadi pertimbangan dalam mengambil asuransi kecelakaan. 
  • Asuransi Properti. Proteksi ini dibutuhkan oleh para lajang yang telah memiliki aset berupa properti untuk melindungi properti beserta isinya dari risiko kebakaran, petir, ledakan, kejatuhan pesawat, dan lainnya. Sangat disarankan untuk mengambil asuransi ini atas nilai fisik dari seluruh aset properti yang dimiliki. 
Satu hal yang perlu diingat, pilihlah dalam bentuk asuransi murni TANPA embel-embel investasi karena akan lebih efektif dan preminya menjadi lebih murah. Yang penting lagi, pilihlah perusahaan asuransi yang kredibel dan telah teruji akuntabilitasnya.

November 2, 2012

Guru, Representasi Keikhlasan dalam Pengabdian


Taman kanak-kanak (TK) adalah awal pertama kali seorang anak mengenal lingkungan sosialnya setelah lingkungan sosial di keluarga. Pada masa ini, peran guru TK sebagai jembatan untuk membantu anak melangkah ke dunia yang lebih luas. Bermain dan belajar dengan penuh kebebasan dan pembelajaran kedisiplinan dan kebersamaan membantu anak melalui tugas perkembangan masa kanak-kanaknya. Di sini, sosok guru TK harus benar-benar mampu mewakili sosok orangtua, terutama Ibu yang tulus dan totalitas dalam membimbing, mendidik, dan mengajarkan kehidupan bagi anak-anak.

taman kanak-kanak
Sumber: kidsandtoys.edublogs.org
Waktu masih di Taman Kanak-kanak, guru TK saya ada tiga, yang satu namanya Bu Kaslah, orangnya berbadan subur, tetapi lincah dan suaranya tegas. Yang saya ingat dari beliau, saat menyanyikan lagu 'naik delman'. Pada saat sampai di lirik 'Hai, tuk tik tak tik tuk, tik tak tik tuk, tuk tik tak tik tuk, tik tak tik tuk, suara sepatu kuda' maka tangannya yang satu ada di pinggang yang digoyang kiri kanan, dan yang satunya di atas kepala di putar-putar. Pada masa itu, kalau mengajar, para guru menggunakan jarik dan kebaya atau rok panjang (maxi) dengan baju kurung, serta kerudung. Sepatunya? Sandal jepit, atau.....selop. 
Kalau yang satunya Bu Masyitoh. Orangnya tinggi langsing, dan seingat saya berkulit bersih. Yang saya ingat dari beliau adalah saat mengajarkan huruf Hijaiyyah, yang mana ketika menyebut huruf SYIN, di mana demi menegaskan pengucapan huruf tebal tersebut, maka Bu Masyitoh akan menyebutnya dengan SYUIN.
Nah, guru TK yang satu lagi kebetulan adalah kakak saya sendiri. Orangnya bertubuh kecil, tetapi sangat sabar. Yang saya ingat adalah ketelatenannya membacakan cerita, bermain kucing dan tikus, dan bermain batu-batu kecil di kelas. Selain mengajar di sekolah, kakak saya juga mengajar mengaji di rumah (gratis lo, karena mengaji di rumah ini adalah program kakek saya dalam mengajarkan agama Islam kepada warga sekitar, yang dilanjutkan oleh kedua orangtua saya yang juga berprofesi sebagai guru, dan kakak saya).
Pada jenjang pendidikan TK ini, ada tingkatan (kelas) A, B, dan C. Di mana selama tiga tahun menjadi anak TK, tidak pernah membawa buku, tas, pensil, dan ragam alat tulis lainnya saat ke sekolah, karena memang belum diajarkan baca, tulis, dan berhitung. adi, waktu berangkat ke sekolah, ya hanya membawa semangat saja. Mata pelajarannya adalah menyanyi, menari, bermain, bercerita. Ada boneka peraga yang dijalankan dengan tangan, jadi tangan kecil kami atau tangan bu Guru kami dimasukkan ke badan boneka yang terbuat dari kain, tetapi kepalanya dibuat dari bahan semacam gip. Dengan boneka-boneka itu, ragam cerita bisa dihasilkan yang mana kami, para murid TK ini, mendengarkan dengan antusias. 
Ada juga alat peraga musik, seperti gambang, kricikan, rebana, yang kami bisa menyuarakannya dengan gaduh. Ada juga malam (lilin) warna-warni, kertas warna-warni, balok-balok kayu dengan beragam bentuk (segitiga, lingkaran, kotak, lempeng, silinder, dan sebagainya), bongkar pasang, buku-buku cerita bergambar, crayon yang ukurannya besar-besar. Nah, dalam kaitannya dengan buku cerita bergambar, kami tidak diajarkan untuk membaca tulisan, tetapi buku itu akan dibacakan dan kami diperlihatkan dengan gambar-gambar yang ada dalam buku.
Adanya papan tulis dan kapur tulis pun, bukan digunakan untuk mengajarkan membaca, menulis, dan berhitung, tetapi untuk menggambar dan sekedar mengenalkan.
Saya juga teringat jika waktunya peringatan hari-hari besar nasional, di mana para guru kami akan sedemikian sibuk menyiapkan kami untuk tampil di panggung, menari, berpuisi, menyanyi, dan berdrama. Tarian yang masih saya ingat hingga saat ini adalah tari piring atau tari lilin. Piring yang dipakai waktu itu berbahan tempurung kelapa yang dihaluskan, sehingga halus sekali. Kami tampil di panggung dengan senangnya. Dan, tahukah Anda, bagaimana kami melakukan latihan? Latihan diiringi lagu yang dinyanyikan oleh para guru kami tersebut. Penggunaan musik hanya dilakukan pada saat latihan menjelang pentas dan saat pentas.
Pentas lain yang masih terngiang dalam ingatan saya adalah saat kami menyanyikan lagu 'Desaku yang Kucinta', di mana satu kelompok di depan menyanyikan lagu itu dengan koor, sementara ada satu teman kami yang menyairkan liriknya. Syahdu dan merdu. Kami, yang masih lucu, polos, lugu, berada di panggung yang ditonton oleh segenap masyarakat di desa kami, bahkan dari desa tetangga kami, dan disambut antusias oleh warga desa kami.
Begitu hebatnya guru-guru TK kami pada saat itu. Cara beliau-beliau mendidik kami sungguh mulia dan penuh ketulusikhlasan. Bagaimana tidak? Kami yang anak desa, yang masih ingusan, yang lubang hidungnya sering mueller, dan mengusapnya sendiri dengan tangan-tangan kami yang kotor, sehingga membuat muka kami tambah kotor... dan guru-guru kami akan membantu kami untuk mengelapkan ingus dan membersihkan muka kami.Dan, juga kadang beliau-beliau itu akan bertandang ke rumah para murid yang tidak masuk.
Bukan hanya itu, sekolah TK kami waktu itu juga gratis, karena sekolah TK kami adalah TK Desa Dharmawanita. Nah lo... lantas, dari mana gaji para guru itu? Guru kami diberi kompensasi oleh desa. Tentu jumlahnya tidak sepadan dengan pengabdiannya, karena tujuan para guru itu mengajar adalah untuk mendidik kami, si anak desa, agar mampu mengenyam pendidikan yang lebih baik. Jadi, penghasilan bukan merupakan motivasi atau tujuan utama para guru kami, karena selain menjadi guru, beliau-beliau adalah petani dan pedagang, yang bertani dan berdagang di saat tidak mengajar.
Meskipun demikian, para guru TK tersebut tidak hanya mengajar anak-anak TK saja. Di sela-sela kesibukan bertani dan berdagangnya, beliau-beliau juga turut berpartisipasi dalam acara di Desa kami, termasuk turut serta melancarkan pelaksanaan program KEJAR PAKET A pada warga Desa yang kebanyakan masih buta huruf.
Satu lagi yang mengharukan adalah, bahwa para guru kami itu harus juga menghadiri pertemuan guru TK di kecamatan setiap satu bulan sekali. Nah, jarak desa kami dengan kota kecamatan sekitar tujuh kilometer (sekarang sih bisa ditempuh seperempat atau setengah jam saja, karena sudah banyak warga desa yang memiliki kendaraan bermotor). Waktu itu, (awal tahun 1980an), para guru kami harus berjalan kaki melintasi jalan yang kiri kanannya adalah sawah ladang penduduk, menuju ke tempat di mana beliau-beliau bisa naik mobil angkutan. Di sini, kadang saya ikut ke kota kecamatan, karena salah satu guru itu adalah kakak saya. Perjalanan yang cukup melelahkan. Belum lagi saat harus ngetem angkutan yang kadang munculnya lama sekali, sehingga kami harus terkantuk-kantuk di tempat kami menunggu kendaraan.
Setiap kali selesai pertemuan guru, selalu ada rencana baru yang ingin diterapkan oleh para guru tersebut untuk memperbaiki pendidikan di jenjang TK kami. Saya bisa tahu itu, karena biasanya kakak saya akan membicarakannya dengan ibu saya (yang juga seorang guru di Madrasah Ibtidaiyah). Di mana untuk merealisasikan rencana ini, para guru kami tidak memutuskan sendiri, tetapi juga melibatkan para wali murid yang dianggap memiliki kapasitas untuk diajak berbicara. (#maklum, kami di desa adalah para petani yang tidak mengenyam bangku sekolah, dan hanya beberapa saja orangtua yang lulus sekolah rakyat).
Demikian besar semangat para guru TK kami waktu itu, sehingga masih membekas dalam diri, hati, dan jiwa kami sampai di titik terkini. Ketulusikhlasan dalam pengabdian tanpa batas dan spesialisasi menjadikan seluruh perilaku dan tindak tanduknya benar-benar layak untuk ditiru.
Yang terakhir adalah kenyataan bahwa beliau-beliau, guru TK kami, bukan sosok guru yang mengenyam pendidikan di tingkat Perguruan Tinggi, Kedua guru TK kami 'hanya' lulusan SMP yang melanjutkan sekolah ke SPG (Sekolah Pendidikan Guru) dan PGA (Pendidikan Guru Agama) sambil mengajar kami. Kakak saya bahkan benar-benar hanya lulusan SMP Swasta di Tuban. Namun, telah berapa banyak anak Desa kami yang bisa mengenali huruf Hijaiyyah, alfabet, dan mampu mendapatkan gelar Sarjananya? Ada yang menjadi Perawat, Bidan, Dokter, Pengusaha, Guru, Dosen, .....

Dan...........
Terima kasihku kuucapkan
Pada guruku yang tulus
Ilmu yang berguna selalu dilimpahkan
Untuk bekalku nanti
Setiap hariku dibimbingnya
Agar tumbuh bakatku
Kan kuingat selalu nasehat guruku
Terima kasih kuucapkan

Di saat para guru TK kami menikmati masa tua mereka di desa, para anak desa yang dulunya masih ingusan sekarang telah mengembara ke luar desa kami dengan ragam profesinya. Hingga di suatu saat, dengan gagah ada yang menyempatkan bertandang ke rumah ibu gurunya yang dulu mengusap ingus dan membersihkan mukanya yang kotor dengan  tangan penuh ketulusan dan kasih sayang.... Rumah ibu guru yang masih tetap di tempat yang dulu, dengan dua buah pohon mangga di depan rumahnya.... yang tetap sederhana, tanpa pagar tinggi dan mobil mewah.....

November 1, 2012

Ada apa dengan Guru?

Sebagaimana telah pernah saya tuliskan di sini, bahwa salah satu faktor pendorong saya membuka blog baru ini adalah untuk berpartisipasi dalam mengembalikan citra anak SMA di mata Google. Waktu itu, di facebook tengah ada yang menggalakkan penggunaan kata kunci anak SMA dengan konten blog dan gambar yang santun dan mendidik, karena setiap jika kata kunci 'anak SMA' dimasukkan maka spontan Google akan menampilkan berita dan gambar anak SMA yang tidak selayaknya ditampilkan sebagai anak bangsa yang terdidik. Nah, karena saya tidak memiliki blog yang menggunakan bahasa Indonesia, makanya saya membuka blog ini.
Sayangnya, berita tentang carut marut anak SMA di Indonesia masih belum selesai, mulai dari tawuran pelajar SMA, adanya siswi SMK yang melahirkan di toilet sekolah, pemerkosaan siswa SMA, pencabulan siswi SMP oleh guru SD, kepala sekolah yang melakukan sodomi terhadap siswa, dan berita lain yang tidak mengenakkan untuk dibaca terkait dengan perilaku guru, sungguh membuat saya kembali geleng-geleng kepala. Artinya, tidak salah dong, kalau selama ini Google menampilkan hasil pencarian yang tidak layak dan tidak wajar untuk kata kunci 'anak SMA'. La wong, pagi-pagi saja di widget saya 'Kabar Terpopuler' dari viva.co.id muncul berita yang mengenaskan tentang pendidikan dan guru kita.


Nah, begitu saya klik, berita tersebut, semakin banyak berita terkait tentang perilaku guru yang seharusnya tidak layak dilakukan oleh seorang dan sesosok guru, sebagaimana dalam screenshot berikut:



Nah, lo. Meskipun saya yakin bahwa guru dalam berita itu adalah oknum, tetapi mengapa oknum itu tidak hanya satu? Mengapa oknum itu tidak meleleh dan meresap di telan bumi oleh sistem pendidikan yang mendidik? Bukankah mereka berada di lingkungan pendidikan?
Saya menjadi ingat betapa saya dulu sangat mengidolakan guru SD saya yang cuantikk, baik, ramah, pinter, dan baik hati dengan senyum manis dan lesung pipinya. Dan.... betapa bangganya saya ketika SMA, saat saya disepadankan dengan guru baru yang mengajar PMP (Pendidikan Moral Pancasila, sekarang PPKN), yang manis, ramah, dan murah senyum, dengan ragam kisah menarik saat masih kuliahnya. Atau.... senangnya saya pada waktu SMP, saya mendapat kepercayaan dari guru Bahasa Inggris untuk membantu menuliskan TIK dan TIU, sehingga setiap pulang sekolah tanpa kenal lelah saya berusaha menyelesaikan pekerjaan saya untuk menulis lembar demi lembar (3waktu itu menulisnya masih menggunakan tulisan tangan).
Saya juga teringat dengan peristilahan GURU, diGUGU dan diTIRU, sehingga saat itu, apa pun yang dikatakan dan diperintah oleh guru adalah petuah, pedoman, yang bahkan, apa yang pernah diajarkan dan gaya mengajar para guruku waktu itu masih teringatkan di memori saya.
Yupps... peristilahan seperti itu pada masa dulu memang keramat. Saat itu, guru sangat dihormati dituakan.Guru yang selalu mengajar dengan cinta dan kasih sayang, karena guru adalah pengganti orangtua bagi para siswa untuk mendidik siswa dengan cinta dan kasih sayang, agar siswa menjadi generasi tangguh, berkarakter, beradab, dan berbudaya, serta berakhlaq mulia. Sungguh mulia kedudukan sorang guru bukan?
Dan, di era yang makin global dan dinamis ini, cinta dan kasih sayang guru semakin diperlukan, karena makin banyak orangtua yang 'menyerahkan' pendidikan anak-anaknya ke sekolah, sementara orangtua makin sibuk bekerja, sehingga ketika ada oknum guru yang berperilaku tidak layak, dan tidak beradab, serta tidak berbudaya..... Dan, jika media telah memberitakan Guru dalam berita yang tidak seharusnya, maka peertanyaannya adalah 'Ada apa dengan Guru kita? Masih adakah cinta guru untuk bangsa dan anak bangsa ini dari seorang guru? Atau, sudah tergadaikankah cinta itu dengan makin tingginya kebutuhan ekonomi yang makin sulit? Atau, sudah menguapkah cinta dan kasih sayang itu akibat panasnya terik matahari akibat banyaknya penggundulan hutan budaya dan tercerabutnya akar peradaban?

CocoGress